Putusan Hakim Buyung Dwikora Mengusik Rasa Keadilan di PN Jakarta Pusat

by
by

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Sidang putusan atas kasus pemalsuan putusan Mahkamah Agung (MA) yang melibatkan terdakwa Prof.Dr. Marthen Napang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (12/3/2025) petang mengusik rasa keadilan.

Pasalnya, majelis hakim yang diketuai Buyung Dwikora hanya menghukum terdakwa selama satu tahun penjara, dimana putusan tersebut jauh lebih ringan daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut empat tahun penjara. Bahkan hakim juga menolak dakwaan pemalsuan (Pasal 263 KUHP) dan penggelapan (Pasal 372 KUHP) yang dituduhkan JPU dengan alasan tidak cukup bukti. Tetapi hakim hanya menghukum terdakwa karena terbukti melakukan penipuan (Pasal 378 KUHP) terhadap korbannya, yakni Dr.John Palinggi.

Padahal dalam amar putusannya, majelis hakim juga menegaskan bahwa pembelaan terdakwa melalui kuasa hukumnya tidak dapat diterima alias ditolak. “Apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum sudah benar adanya,” ujar hakim Buyung saat membacakan putusan tersebut.

Menurutnya, perbuatan terdakwa Marthen Napang mengakibatkan korban, Dr.John Palinggi, menderita kerugian materiil sebesar Rp 950 juta, belum termasuk kerugian immateriil yang tak ternilai akibat proses hukum yang bergulir sejak 2017 silam.

Menyikapi hal itu, John Palinggi yang juga Ketua Asosiasi Mediator Indonesia (AMI) mengaku kecewa atas keputusan tersebut. Dia menganggap majelis hakim telah mengabaikan persoalan pemalsuan putusan MA, sebagai masalah yang lebih berat.

“Ini tidak benar, kasus pemalsuan putusan MA jelas-jelas mencoreng nama baik lembaga yang mulia,” ujar John Palinggi seraya mengatakan bahwa perjuangannya untuk menegakkan marwah MA telah tercoreng oleh putusan majelis hakim tersebut.

Sementara itu kuasa hukum korban, Muhammad Iqbal juga menyayangkan pertimbangan majelis hakim yang cenderung pada masalah penipuan daripada pemalsuan putusan MA.

“Pemalsuan putusan MA adalah masalah krusial yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih serius,” ujarnya.

Keputusan ini memicu kekhawatiran bahwa penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi kendala besar, terutama dengan adanya dugaan bahwa oknum hakim di PN Jakarta Pusat tidak sejalan dengan semangat Presiden Prabowo Subianto dalam memperbaiki sistem hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Marthen Napang, yang juga dikenal sebagai pengajar di lingkungan akademik, seharusnya memberi contoh yang baik, namun malah terlibat dalam pelanggaran hukum,” pungkasnya.

Seperti diketahui munculnya kasus ini bermula pada tahun 2017, ketika saksi korban, Dr John Palinggi meminta bantuan terdakwa untuk mengurus putusan di MA. Kemudian terdakwa kemudian meminta uang sebesar Rp950 juta dengan harapan dapat memfasilitasi proses keluarnya putusan MA tersebut.

Beberapa saat kemudian terdakwa mengirimkan surat putusan MA No 219 PK/PDT/2017 tanggal 12 Juni 2017. Namun, setelah dilakukan pengecekan ternyata surat putusan MA yang dikirimkan terdakwa palsu.

Kasus ini mencuri perhatian publik karena keterlibatannya terdakwa Marthen Nepang sebagai dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar juga telah mencoreng civitas akademika di kampus tersebut. Oisa