Hari Pers Nasional dan Tantangan Media Kita Hari Ini

by
Hari Pers Nasional. (Foto: Ist)

JUJUR saya tidak terlalu antusias menyambut Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februarui 2025 ini – hari yang seharusnya menjadi kebanggaan saya sebagai insan pers. Konflik di PWI Pusat bukan hanya memalukan insan pers khususnya anggota PWI seperti saya, melainkan juga membuat insan pers keseluruhan mengabaikan tantangan nyata yang sedang dihadapi media saat ini.

Saya hidup, tumbuh dan membesar di media tradisional, mengonsep gagasan dengan tulisan tangan, menuangkan di mesin ketik, melewati proses editing, tata letak (lay out) dan mesin cetak hitam putih, sebelum didistribusikan ke pembaca. Pesan yang saya sampaikan terbaca oleh media.

Dan kemudian muncul komputerisasi, lay out yang makin canggih dengan tata warna yang memukau. Lalu media cetak surut ke era online. Serba seketika atau ‘intime’ – peristiwa sedang berlangsung dan tak menunggu selesai, langsung disiarkan ke publik, tanpa filter, tanpa editing.

Dan kini muncul ‘entitas’ yang lain lagi, Artificial Intelligence (AI) kecerdasan buatan dengan perkembangannya yang sangat pesat. Mendapat tantangan signifikan bagi dunia media tradisional dan digital.

Bukan saja media tradisional yang tergerus, jurnalis era digital pun menghadapi pembuat konten yang dihasilkan AI

Awak media tradisional seperti saya yang bertahun tahun bekerja di surat kabar, majalah, dan program teve menghadapi persaingan dengan konten yang dihasilkan oleh AI, seperti artikel otomatis, video deepfake, atau berita yang dibuat oleh algoritma.

Masa belajar menulis, memperbaiki tulisan lewat bacaan dan perenungan diterabas oleh teknologi, yang memungkinkan setiap orang jadi wartawan. Apa guna kuliah di jurnalistik dan banyak membaca buku komunikasi massa?

Bahkan platform portal media digital yang relatif baru, yang dikerjakan awak media kredibel pun menghadapi banjir konten yang dihasilkan AI, seperti postingan blog, video, atau bahkan komentar otomatis. Ini langsung men-down-grade kualitas konten dan membuat audiens sulit menemukan informasi yang kredibel.

Masa masa minum kopi/teh di pagi hari membaca koran sudah lewat. Bahkan membaca platform media di hape pun akan usang. AI segera mengubah cara orang mengonsumsi informasi.

Banyak orang beralih ke platform digital yang menggunakan algoritma AI untuk merekomendasikan konten, seperti YouTube, TikTok, atau media sosial. Hal ini mengurangi minat terhadap media tradisional yang kurang personalisasi.

Di sisi lain, kemudahan memproduksi informasi itu mengurangi kepercayaan publik terhadap media tradisional karena sulit membedakan antara konten asli dan yang dihasilkan AI.

Meskipun media digital lebih adaptif, mereka juga harus bersaing dengan algoritma AI yang menentukan apa yang dilihat oleh pengguna. Tantangannya adalah memastikan konten mereka tetap relevan dan tidak tenggelam dalam algoritma.

Hal yang mengerikan adalah platform AI dapat menciptakan konten palsu atau misinformasi yang sulit dibedakan dari konten asli.

Media tradisional harus bekerja ekstra keras untuk mempertahankan kredibilitas mereka di tengah maraknya informasi yang tidak dapat dipercaya.

Platform digital sering menjadi sarana penyebaran misinformasi yang dihasilkan oleh AI, seperti berita palsu atau konten manipulatif. Tantangannya adalah memoderasi konten secara efektif tanpa melanggar kebebasan berekspresi.

AI dapat menggantikan beberapa peran dalam produksi konten, seperti penulisan berita otomatis atau editing video. Hal ini mengancam pekerjaan manusia di industri media tradisional.

Meskipun media digital lebih terbuka terhadap teknologi, otomatisasi juga dapat mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia, terutama dalam hal analisis data atau manajemen konten.

Media tradisional yang beralih ke platform digital harus menghadapi tantangan terkait privasi data pengguna, terutama dengan penggunaan AI untuk mengumpulkan dan menganalisis data.

Platform digital sangat bergantung pada data pengguna untuk personalisasi konten, tetapi hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan keamanan data.

Perkembangan AI yang pesat menuntut media tradisional dan digital untuk beradaptasi dengan cepat. Tantangan utama meliputi persaingan dengan konten AI, perubahan pola konsumsi informasi, isu kredibilitas, otomatisasi, privasi data, dan etika. Untuk bertahan, kedua jenis media harus berinvestasi dalam teknologi, meningkatkan kualitas konten, dan memastikan penggunaan AI yang bertanggung jawab.

Pendapatan media tradisional dari iklan dan langganan semakin tertekan karena persaingan dengan platform digital yang menggunakan AI untuk menargetkan iklan secara lebih efektif.

Dari sisi bisnis, meskipun media digital lebih adaptif, mereka juga harus terus berinovasi dalam model bisnis, seperti langganan premium atau konten eksklusif, untuk tetap kompetitif.

TAK KURANG pentingnya, baik media tradisional dan media digital, menghadapi tantangan etis dalam penggunaan AI, seperti bias algoritma, transparansi, dan akuntabilitas. Semakin sulit memastikan bahwa penggunaan AI tidak merugikan masyarakat atau memperkuat ketidakadilan.

Awak media tradisional dan digital perlu mengembangkan keterampilan baru, seperti memahami teknologi AI dan analisis data, untuk tetap relevan.

Bagaimana para petinggi di PWI melatih anggota mereka untuk menggunakan alat-alat AI – agar serahan dengan profesionalitas penulisan jurnalis, dan memahami implikasi etis dari penggunaannya – itu yang saya pertanyakan di HPN kali ini.

*Dimas Supriyanto* – (Jurnalis pensiunan media cetak, anggota PWI Jaya sejak 1986 tinggal di Kota Depok