Oleh: Agus Widjajanto*
HERBERT Lionel Adolphus Hart, yang lebih dikenal sebagai H.L.A. Hart, lahir di Harrogate, Yorkshire, Inggris, pada 18 Juli 1907. Hart merupakan seorang filsuf hukum dan politik terkemuka asal Inggris, serta seorang guru dan penulis yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Hart terkenal karena kontribusinya dalam filsafat hukum, khususnya dalam positivisme hukum. Ia mengajukan kritik terhadap teori Jeremy Bentham dan John Austin karena dianggap gagal menekankan aspek normatif hukum, yaitu arah hukum terhadap apa yang semestinya. Meski demikian, Hart juga menegaskan bahwa normativitas dalam hukum tidak selalu berarti bahwa hukum itu bersifat moral. Ia mempertahankan pandangan positivis mengenai pemisahan antara hukum dan moralitas.[ Annisa Fianni Sisma, “Biografi HLA Hart, Filsuf Hukum dan Politik Terkemuka Asal Inggris”, https://katadata.co.id/berita/internasional/63abf8a68099b/biografi-hla-hart-filsuf-hukum-dan-politik-terkemuka-asal-inggris, diakses tanggal 27 Oktober 2024.]
Memahami teori hukum Hart, khususnya sebagaimana tertuang dalam The Concept of Law, penting karena memberikan wawasan fundamental tentang bagaimana hukum beroperasi sebagai suatu sistem yang lebih dari sekadar sekumpulan aturan atau larangan. Hart tidak hanya mendefinisikan hukum sebagai instrumen pengaturan perilaku, tetapi juga menjelaskan bahwa hukum membutuhkan struktur yang terdiri atas aturan-aturan primer dan sekunder untuk dapat berjalan secara efektif dan diakui sebagai sah oleh masyarakat.
Hart menekankan bahwa tanpa adanya struktur aturan sekunder yang mengatur pembuatan, pengubahan, dan penerapan aturan primer, hukum akan sulit bertahan sebagai sistem yang konsisten dan adil. Aturan sekunder inilah yang memberikan landasan pada kelembagaan hukum, yang mencakup lembaga-lembaga seperti pengadilan dan badan legislatif. Tanpa adanya pengaturan kelembagaan yang terstruktur, hukum akan menjadi rentan terhadap ketidakseimbangan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, memahami teori Hart membantu kita melihat bahwa hukum tidak hanya mengatur tindakan individu, tetapi juga membutuhkan institusi yang dapat menjalankan, memelihara, dan menegakkan aturan tersebut agar hukum dapat memiliki legitimasi yang kuat di mata masyarakat.
Lebih lanjut, teori Hart menyoroti pentingnya rule of recognition, yang memberi kewenangan kepada institusi tertentu untuk mengidentifikasi aturan yang sah dan memvalidasi peran hukum dalam masyarakat. Dengan demikian, teori Hart menegaskan bahwa hukum memiliki landasan yang sangat tergantung pada kelembagaan, karena di sinilah letak mekanisme yang memastikan kepatuhan, keabsahan, dan stabilitas hukum. Pemahaman ini memberikan perspektif bagi para praktisi hukum, pembuat kebijakan, dan akademisi untuk tidak hanya memusatkan perhatian pada peraturan-peraturan semata, tetapi juga melihat peran lembaga hukum sebagai kunci agar hukum dapat menjalankan fungsinya secara efektif.
Di samping itu, teori Hart relevan bagi negara-negara yang sedang berupaya memperkuat sistem kelembagaan hukumnya, termasuk Indonesia, yang terus memperkuat kelembagaan hukum untuk menanggapi dinamika kebutuhan hukum masyarakat. Dengan memahami teori ini, kita dapat merancang sistem hukum yang lebih efisien dan efektif, sekaligus memastikan lembaga hukum dapat bekerja dengan legitimasi dan otoritas yang diakui. Pandangan Hart ini memberikan pijakan konseptual untuk memahami mengapa aturan hukum harus diperlengkapi dengan struktur kelembagaan yang solid, sehingga hukum tidak hanya bersifat normatif tetapi juga memiliki perangkat institusional yang menjaga, menegakkan, dan memperkuat nilai-nilai keadilan.
A. Konsep Hukum Hart
Herbert Lionel Adolphus Hart dalam bukunya The Concept of Law, mengembangkan pandangan mendalam mengenai struktur hukum melalui konsep-konsep yang sangat berpengaruh, khususnya terkait pentingnya kelembagaan dalam mendukung keberlanjutan sistem hukum. Menurut Hart, hukum bukan hanya sekumpulan aturan atau perintah yang mengatur perilaku masyarakat, melainkan sebuah sistem kompleks yang melibatkan aturan primer dan sekunder. Aturan primer adalah aturan yang mengatur tindakan manusia dan memberlakukan kewajiban tertentu, sedangkan aturan sekunder adalah aturan yang mengatur bagaimana aturan primer dapat dibentuk, diubah, atau diterapkan oleh lembaga hukum tertentu. Aturan sekunder inilah yang menciptakan landasan penting bagi eksistensi kelembagaan hukum yang menjadi dasar bagi penerapan hukum di masyarakat.[ H.L.A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: Clarendon Press, 1961), hlm. 79]
Hart berpendapat bahwa agar hukum dapat berfungsi secara efektif, sistem hukum harus memiliki apa yang ia sebut rule of recognition, yaitu aturan yang memberikan wewenang kepada lembaga tertentu untuk mengidentifikasi dan menerapkan hukum yang sah. Dalam pandangan Hart, rule of recognition ini memungkinkan suatu institusi hukum untuk memiliki otoritas dalam menetapkan aturan hukum, sekaligus menjalankan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan masyarakat terhadap hukum tersebut.[ Ibid, hlm. 92] Dengan demikian, keberadaan kelembagaan hukum dalam teori Hart adalah syarat utama agar hukum tidak hanya menjadi sekumpulan aturan, tetapi juga memiliki mekanisme yang dapat memverifikasi dan mempertahankan legitimasi hukum dalam kehidupan masyarakat.
Hart juga memperkenalkan pentingnya rule of adjudication, yang merupakan aturan untuk menentukan siapa yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa berdasarkan aturan yang ada. Rule of adjudication inilah yang mendasari pentingnya keberadaan lembaga seperti pengadilan atau lembaga khusus lain yang memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara hukum, termasuk sengketa pemilu. Institusi yang memiliki aturan adjudikasi ini dapat berfungsi untuk memastikan adanya ketertiban dalam penanganan sengketa hukum, sehingga perselisihan dapat diselesaikan melalui mekanisme yang terstruktur dan sah.[ Ibid, hlm. 96] Dalam konteks ini, Hart menunjukkan bahwa peran lembaga hukum adalah krusial untuk memberikan keabsahan dan otoritas pada keputusan hukum, serta untuk menciptakan ketertiban dalam penegakan hukum di tengah masyarakat.
Konsep H.L.A. Hart mengenai hubungan antara moral dan hukum merupakan salah satu elemen sentral dalam teori hukum positivisnya. Hart berpendapat bahwa hukum dan moralitas harus dipandang sebagai dua entitas yang terpisah dan tidak saling tergantung. Ia menolak pandangan klasik bahwa hukum harus mencerminkan nilai-nilai moral tertentu, sebagaimana dianut oleh teori hukum alam. Hart berpendapat bahwa hukum merupakan sistem aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah, dan aturan tersebut dapat diakui sebagai hukum terlepas dari apakah mereka sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat.[ Ibid, 202]
Menurut Hart, keberadaan hukum tidak perlu dikaitkan dengan kriteria moral, karena hukum adalah aturan yang keberadaannya diakui oleh masyarakat melalui prosedur yang sah. Dengan demikian, dalam pandangan Hart, moralitas tidak menjadi prasyarat dalam menentukan validitas hukum, melainkan sebuah sistem hukum harus mematuhi aturan yang diakui oleh komunitas tersebut. Namun, berbeda dengan Austin dan Kelsen, Hart mengakui bahwa hukum dan moralitas memang bisa berinteraksi, tetapi keduanya tetap harus dipisahkan dalam tataran konseptual. Ia menegaskan bahwa sistem hukum yang baik mungkin perlu memperhatikan standar moral tertentu, namun standar ini bukanlah syarat untuk validitas hukum. Hart mengilustrasikan konsep ini dengan menyatakan bahwa bahkan aturan hukum yang tidak memenuhi standar moral dapat tetap dianggap sah selama aturan tersebut memenuhi kriteria formal yang diakui sebagai hukum.[ Ibid, hlm. 155]
Pandangan ini merupakan kritik terhadap pandangan hukum alam yang menyatakan bahwa hukum yang adil adalah hukum yang mencerminkan prinsip-prinsip moral. Hart berpendapat bahwa dalam realitas sosial, hukum sering kali dibuat berdasarkan pertimbangan praktis yang mungkin tidak selalu sesuai dengan moralitas, namun tetap sah. Dengan demikian, Hart mendukung prinsip keterpisahan antara hukum dan moralitas, yang berarti hukum tidak selalu harus diukur berdasarkan standar moralitas yang diterima secara umum.[ Ibid, hlm. 273]
Pandangan Hart ini bertujuan untuk memahami hukum secara objektif sebagai entitas yang mandiri, di mana keberlakuannya ditentukan oleh prosedur dan pengakuan yang diterima di dalam masyarakat, bukan oleh moralitas. Bagi Hart, pendekatan ini menawarkan cara untuk memahami hukum sebagai sistem aturan yang dapat diidentifikasi dan dipatuhi tanpa harus terkait dengan penilaian moral, meskipun tetap membuka ruang bagi moralitas untuk memengaruhi pembuatan aturan hukum jika dianggap perlu oleh masyarakat.
Pendapat Hart di atas sangat mendukung penulisan disertasi saya yang berjudul: “Desain Sistem Hukum Peradilan Khusus Pemilukada Berbasis Kepastian Hukum yang Adil.” Teori kelembagaan hukum dalam perspektif Hart menunjukkan bahwa tanpa adanya lembaga yang memiliki otoritas, hukum tidak akan memiliki kekuatan yang memadai untuk mengatur perilaku masyarakat. Kelembagaan hukum dianggap sebagai fondasi penting yang memastikan aturan hukum dapat diterapkan dan dihormati, serta memberikan stabilitas dalam sistem hukum itu sendiri. Kelembagaan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai instrumen pelaksana, tetapi juga sebagai penjamin agar hukum dapat diterima dan ditaati oleh masyarakat dengan adanya mekanisme pengawasan dan pengaturan yang sah.[ Ibid, hlm. 110]
B. Refleksi: kesan dan evaluasi atas teori hukum Hart
Teori hukum H.L.A. Hart mendapat perhatian luas dalam filsafat hukum dan teori hukum modern, terutama karena pendekatannya yang objektif terhadap keterpisahan hukum dan moralitas. Salah satu kesan utama terhadap teori Hart adalah ketajamannya dalam membedakan antara validitas hukum dan pertimbangan moral. Dengan pendekatan positivisnya, Hart menawarkan cara memahami hukum sebagai suatu sistem aturan yang otonom, yang keabsahannya bergantung pada pengakuan prosedural, bukan pada nilai-nilai moral tertentu. Hal ini membuat teori Hart menjadi dasar penting bagi analisis hukum di lingkungan yang plural, di mana sistem hukum yang ada mungkin tidak selalu mengadopsi standar moral yang sama.
Teori Hart juga memunculkan berbagai kritik. Salah satu kritik yang sering disampaikan adalah bahwa dengan memisahkan hukum dari moralitas, Hart cenderung mengabaikan aspek normatif yang dalam banyak hal justru memberi legitimasi pada hukum itu sendiri. Para pemikir hukum alam, misalnya, berpendapat bahwa tanpa dasar moral yang kuat, hukum bisa menjadi alat kekuasaan yang represif dan tidak memperhatikan keadilan substansial. Teori Hart dianggap tidak cukup memberikan ruang bagi prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan yang dalam praktiknya sering kali menjadi bagian penting dari sistem hukum yang diakui oleh masyarakat.[ R.M. Dworkin, “Apakah Hukum Sebuah Sistem Aturan?” dalam Yudi Santoso, Filsafat Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Merkid Press, 2013), hlm. 59-102]
Ronald Dworkin, seorang kritikus terkemuka Hart, mengemukakan bahwa pandangan Hart mengabaikan peran hak-hak individu dan prinsip-prinsip moral dalam hukum. Dworkin berargumen bahwa hukum tidak hanya berisi aturan yang diakui, tetapi juga prinsip-prinsip moral yang memungkinkan hakim untuk membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai keadilan ketika aturan hukum tidak memberikan solusi yang cukup memadai. Dalam pandangan Dworkin, teori hukum yang baik harus mampu mengintegrasikan norma-norma moral dalam penerapan hukum, terutama ketika berhadapan dengan kasus yang tidak memiliki aturan jelas.[ Ibid. ]
Kesan lain terhadap teori Hart adalah kekuatan teorinya dalam menjelaskan dinamika dan struktur hukum. Dengan konsep rule of recognition, Hart memberikan landasan bagi pengakuan aturan hukum dalam masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun demikian, pendekatan ini bisa dianggap kurang responsif terhadap sistem hukum yang mengalami perubahan sosial atau yang berhadapan dengan krisis legitimasi, di mana masyarakat mulai mempertanyakan otoritas hukum jika aturan yang berlaku tidak sesuai dengan standar etika atau moralitas mereka.[ Raz, The Authority of Law, (Oxford: Clarendon Press, 1979), hlm. 87]
Secara keseluruhan, meskipun teori hukum Hart memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman tentang hukum sebagai sistem aturan yang independen, kritik yang muncul menunjukkan pentingnya mempertimbangkan aspek moral dalam hukum agar hukum tersebut dapat berfungsi tidak hanya sebagai alat pengatur sosial, tetapi juga sebagai sistem yang mempromosikan keadilan. Teori Hart tetap menjadi landasan penting bagi banyak diskusi tentang positivisme hukum, namun evaluasi lebih lanjut menunjukkan bahwa integrasi moralitas, sebagaimana ditunjukkan oleh kritik dari para pemikir hukum alam dan neo-naturalis, menjadi tantangan utama bagi pendekatan positivisme Hart.
C. Penutup
H.L.A. Hart menyajikan konsep hukum yang inovatif melalui pendekatan positivis, terutama dengan memisahkan secara jelas antara hukum dan moralitas. Hart memandang hukum sebagai sistem aturan yang independen dari standar moral, di mana validitas hukum didasarkan pada pengakuan prosedural dan kelembagaan yang sah. Dengan konsep aturan primer dan sekunder, Hart menunjukkan bahwa hukum tidak hanya mencakup aturan normatif yang mengatur perilaku, tetapi juga aturan institusional yang memastikan bahwa aturan-aturan tersebut diterapkan secara konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pendekatan ini ditegaskan Hart melalui rule of recognition, yang memberikan otoritas kepada lembaga-lembaga hukum untuk menentukan dan menjalankan aturan hukum yang sah. Dengan demikian, teori Hart menempatkan kelembagaan hukum sebagai pilar yang memastikan stabilitas dan legitimasi hukum di masyarakat. Walaupun Hart tidak mengabaikan interaksi antara hukum dan moralitas, ia tetap menekankan bahwa hubungan tersebut tidak menjadi prasyarat bagi validitas hukum.
Hart mendapat kritik, terutama dari para pemikir hukum alam dan Ronald Dworkin, yang menilai bahwa teori hukum Hart kurang memberikan ruang bagi norma moral dalam proses penegakan hukum. Dworkin khususnya menekankan pentingnya prinsip moral dalam keputusan hukum, terutama dalam kasus-kasus yang sulit atau yang aturannya tidak jelas. Di sisi lain, teori Hart berhasil menawarkan fondasi yang kuat dalam memahami hukum sebagai entitas otonom yang bertujuan untuk menyediakan kepastian hukum, meskipun tetap membuka ruang bagi adanya pengaruh nilai-nilai moral dalam pembentukan aturan hukum sesuai kebutuhan masyarakat. ***
* Penulis adalah Praktisi hukum,dan penulis esai sertai pemerhati masalah sosial budaya politik hukum dan sejarah bangsanya.