BERITABUANA.CO, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND), Deka Kurniawan menekankan persoalan inklusi di Indonesia tak sekedar menjadi wacana atau omongan belaka. Inklusi di berbagai sektor harus dilakukan secara total agar pandangan terhadap penyandang disabilitas dapat berbasis pemenuhan hak asasi manusia bukan rasa iba.
“Inklusifitas itu adalah pengakuan dan penerimaan terhadap berbagai keberagaman dan perbedaan dan upaya untuk memastikan setiap individu yang memiliki keberagaman atau perbedaan itu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di semua bidang,” kata Deka saat seminar “Inklusi Prima, Disabilitas Berkarya, Banten Maju,” yang diselenggarakan Jurnalis Kreatif dan IDP-LP berkolaborasi dengan Universitas Islam Syekh-Yusuf (UNIS) Tangerang di Aula Lama UNIS, Rabu (30/10/2024).
Ketika kita berbicara inklusi yang prima, artinya yang terbaik. Kalau masih ada disabilitas terhambat, maka belum disebut prima,” tegasnya di seminar yang mendapat dukungan PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, Perumda Tirta Kerta Raharja (TKR) Kabupaten Tangerang, Bank Banten, dan Pt Gajah Tunggal Tbk ini.
Diakui Deka upaya inklusi telah dilakukan di Indonesia, namun belum maksimal.
“Perhatian pemerintah soal pendidikan inklusi? Ada. Gak bisa kita bilang gak ada, karena mereka wajib, diaudit mereka itu, cuma persoalannya sampai apa enggak. Kadang-kadang asal ada. Termasuk juga menyangkut kesehatan. Karena disabilitas itu harus ditangani secara integral (keseluruhan), bukan hanya oendidikannya, tapi juga kesehatannya, pekerjaannya, dan lainnya,” ucapnya.
Berdasarkan indikator, menurutnya persoalan menyangkut disabilitas terbagi menjadi tiga, yaitu regulasi, proses implementasi kebijakan dikeluarkan, dan hasil berupa gambaran berapa banyak penyandang disabilitas terpenuhi haknya.
Meski negara memiliki tanggungjawab terhadap persoalan disabilitas, namun Deka menekankan pentingnya dukungan berbagai pihak, termasuk swasta dan elemen masyarakat. Sosialisasi secara massif perlu dilakukan agar masyarakat sadar akan pemenuhan hak disabilitas.
Dari tiga rangkaian diskusi diselenggarakan Jurnalis Kreatif dan lembaga kajian publik IDP-LP bersama sejumlah universitas di Jakarta dan Tangerang menurut Deka memberikan beberapa temuan. Fakta mendasar, bahwa masyarakat dalam dunia pendidikan, kampus, dan khalayak umum ternyata masih banyak belum memahami disabilitas.
“Ini temuan fakta bahwa masalah disabilitas itu masih sangat berat. Jangankan untuk pemenuhan hak, perlindungan dan perhormatan, perihal prespektif soal disabilitas saja masih awam. Keterbatasan pemahaman itu karena lingkungan yang belum inklusi. Diperlukan kegiatan yang lebih gencar, massif dan intensif di banyak tempat seperti dicontohkan Jurnalis Kreatif dan IDP-LP,” tukasnya.
Kementerian Komunikasi dan Digital tegas Deka seyogyanya mengambil peran penting untuk mendukung berbagai kegiatan sosialisasi program pemerintah, termasuk persoalan inklusi.
Jangan Puas Penuhi Hak Minimum Disabilitas
Selain Deka Kurniawan, seminar mengangkat pemenuhan hak disabilitas ini turut menghadirkan dua narasumber lain yaitu Rektor UNIS Mustofa Kamil, dan Direktur IDP-LP Riko Noviantoro serta Pj Walikota Tangerang, Nurdin sebagai keynote speaker.
Dalam paparannya Pj Walikota Tangerang menyampaikan Pemkot Tangerang telah melakukan berbagai upaya untuk pemenuhan hak disabilitas. Sebagai turunan dari UU No 8 Tahun 2016, Pemkot Tangerang telah menerbitkan Perda Kota Tangerang No 3 tahun 2021 tentang Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.
Implementasi dari Perda tersebut diantaranya dengan keberadaan 53 sekolah inklusi tingkat SDN dan 13 SMPN Inklusi. Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) untuk sekolah SDN Inklusi disampaikannya sebesar Rp 100 juta pertahun. Sementara untuk SMPN Inklusi sebesar Rp 200 juta pertahun. Selama dua tahun terakhir, Pemkot Tangerang juga telah menyalurkan sebanyak 455 berbagai jenis alat bantu kesehatan untuk penyandang disabilitas. Sementara untuk bantuan sosial Pemkot Tangerang telah menyalurkan ke 594 penerima manfaat di tahun 2023 dan 467 penerima manfaat di tahun ini.
Lebih jauh Pj Walikota Tangerang membeberkan Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang juga memfasilitasi penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan melalui gelaran job fair khusus disabilitas.
“Alhamdulillah disabilitas masuk ke perusahaan, walaupun ada kesulitan, kita mendorong terus pengusahanya tetap komitmen terhadap pemenuhan hak disabilitas,” jelas Pj Walikota Tangerang.
Di bidang kesehatan, RSUD Kota Tangerang sejak tahun 2023 ujarnya,btelah memiliki layanan bengkel ortotik prostetik untuk pembuatan kaki palsu, ankle foot orthosis (AFO), knee ankle foot orthosis (KAFO), serta conginetal talipes equines varus (CTEV).
Dukungan juga diberikan Pemkot Tangerang terhadap penyandang disabilitas di bidang seni dan olahraga. Selain itu, sebagai upaya mengurangi hambatan di bidang pendataan penduduk, Disdukcapil Kota Tangerang memberikan layanan e-KTP bagi disabilitas, lansia dan ODGJ.
Tak hanya itu, pelayanan ramah disabilitas juga dilakukan dengan menciptakan kantor ramah disabilitas, pemutakhiran website ramah disabilitas, serta form permohonan dengan huruf braile.
Menanggapi berbagai program dilakukan Pemkot Tangerang, Deka mengingatkan pemerintah daerah tak boleh berpuas diri atas pemenuhan hak disabilitas menyangkut standar minimum. Mengapresiasi upaya Pemkot Tangerang, Deka mewanti-wanti indikator pemenuhan hak, bukan hanya regulasi, proses dan hasil, tapi berapa banyak yang tidak terdata.
“Karena kita berbicara data problem manfaat, tidak bisa ditimbulkan dari nominal dikeluarkan, tapi berapa penyandang disabilitas di Kota Tangerang,” ungkap Deka.
Rektor UNIS, Mustofa Kamil menilai pemenuhan hak disabilitas di Indonesia belum terlihat berdasarkan hati nurani namun masih sebatas menggugurkan kewajiban. Ia berharap Indonesia bisa mencontoh negara lain dalam pemenuhan hak disabilitas, salah satunya Jepang. Negara Jepang menurutnya telah menjadi contoh ramah disabilitas, dimana fasilitas pendukung terbilang lengkap hingga hal-hal detail kecil. Pembeda lainnya adalah mental masyarakat Jepang yang memiliki kesadaran atas hak penyandang disabilitas hingga proses inklusi pendidikan yang mengikuti keterbatasan penyandang disabilitas. (Bachtiar)