Menteri LHK Siti Nurbaya: Indonesia Jadi Contoh Internasional dalam REDD+ dan RBP Emisi Karbon

by
Menteri LHK Siti Nurbaya saat menyampaikan pesan pada pertemuan nasional Result Based Payment (RBP) REDD+ yang dilaksanakan di Jakarta, Rabu (21/2/2024). (Foto: Humas KLHK)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyampaikan pesan pada pertemuan nasional Result Based Payment (RBP) REDD+ yang dilaksanakan di Jakarta, Rabu (21/2/2024) oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pada kesempatan itu Menteri Siti menegaskan harapan untuk optimalisasi pemanfaatan RBP REDD+ yang disampaikan di hadapan Gubernur dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemda serta mitra terkait mekanisme kerja RBP.

“Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dalam forum global terkait implementasi REDD+ karena merupakan salah satu negara berkembang terbesar yang masih memiliki hutan alam tropis yang cukup luas sekaligus memiliki potensi ancaman deforestasi yang cukup tinggi,” tegasnya.

Disampaikan Menteri Siti, berbagai inisiatif dan kemitraan global telah diupayakan oleh Indonesia dalam konteks implementasi REDD+, baik di tingkat nasional maupun forum internasional. Dalam forum internasional terutama di kawasan Asia Pasifik, Indonesia merupakan salah satu negara pelopor yang aktif menyuarakan agar negara-negara maju menunaikan kewajibannya dalam membantu negara berkembang untuk mempertahankan hutan alam yang masih tersisa melalui insentif positif program REDD+.

Apalagi, menurut Menteri Siti, insentif positif dari program REDD+ merupakan salah satu peluang pendanaan global yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pencapaian target NDC melalui perbaikan tata kelola lingkungan dan kehutanan. Insentif positif program REDD+ diberikan melalui mekanisme Result Based Payment (RBP) atau Pembayaran Berbasis Kinerja/Hasil.

“Artinya kita harus dapat menunjukan bukti kinerja pengurangan emisi GRK terlebih dahulu dengan memenuhi segala persyaratannya untuk dapat memperoleh insentif positif dari program REDD+ yang dijalankan,” ujar dia lagi.

Lebih lanjut, Menteri Siti menyatakan bahwa RBP juga merupakan salah satu skema dalam Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022. Dalam skema RBP, Indonesia telah memperoleh insentif positif dari Green Climate Fund (GCF) sebesar USD 103,8 Juta untuk kinerja pengurangan emisi GRK sektor FOLU periode 2014-2016 sebanyak 20,25 Juta ton CO2equivalen, atau kita menyebutnya sebagai Performance-Based Payment (PBP).

Indonesia Telah Terima RBC Sebesar USD 56 Juta

Selain itu melalui Indonesia-Norway Partnership, Indonesia juga sudah menerima Result Base Contribution (RBC) identik dengan RBP, sebesar USD 56 Juta untuk pengurangan emisi pada tahun 2016-2017, kemudian USD 100 Juta untuk pengurangan emisi sebesar 2017-2018 dan 2018-2019. Dan pada saat ini juga sudah mulai dibahas untuk RBC kinerja penurunan emisi tahun 2020-2021.

Begitu pula melalui FCPF-Carbon Fund Kalimantan Timur, Indonesia akan menerima RBP sebesar total USD 110 Juta dari pengurangan emisi sebesar 22 Juta Ton CO2e pada tahun 2019-2020 walaupun baru dibayarkan sebesar USD 20,9 Juta, dan Provinsi Jambi sedang disiapkan untuk dapat menerima RBP sebesar USD 70 Juta USD.

“Seluruh insentif yang disebutkan tadi dilaksanakan melalui mekanisme RBP, dimana tidak ada perpindahan kepemilikan unit karbon,” ungkap Menteri Siti.

Disampaikan oleh Menteri Siti bahwa salah satu syarat ketika sebuah negara atau entitas menerima RBP adalah dengan menyusun Investment Plan, atau dalam konteks project REDD+ disebut sebagai Benefit Sharing Plan.

“Jadi harus disusun rencana kegiatan dari dana yang akan diterima,” kata dia sembari menegaskan bahwa untuk optimalisasi pemanfaatan dan proses yang tepat memenuhi governance atau tata kelola.

Pada pertemuan tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memaparkan sejumlah kebijakan yang telah dilakukan pemerintah pusat, antara lain melalui climate budget tagging, sukuk hijau, pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), hingga berbagai pendanaan multilateral seperti Global Environment Facility (GEF). Ia pun berharap, pemerintah daerah juga memiliki ownership dan komitmen yang sama kuatnya melalui climate budget tagging di level regional.

Pertemuan ini dihadiri Pejabat Tinggi Madya dan Pratama K/L terkait, Kepala BPDLH, mitra kerja KLHK, peneliti/pemerhati perubahan iklim, dan lembaga perantara. Dari Pemerintah Daerah turut hadir Gubernur Jambi, Pj. Gubernur Aceh, perwakilan Gubernur Kalimantan Timur, perwakilan Gubernur Papua, para Kepala Dinas yang membidangi Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kepala BAPPEDA dari 38 Provinsi di Indonesia. (Ery)