Penguatan Regulasi dan Komitmen Parpol Kunci Pemberdayaan Perempuan di ASEAN

by
Diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema "Kuota Keterwakilan Perempuan dalam PolitiDk di Kawasan" yang dilaksanakan di Media Center DPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan. Hadir sebagai narasumber Anggota DPR RI Fraksi Gerindra Himmatul Aliyah, Anggota BKSAP DPR RI Puteri Anetta Komarudin (virtual), Sekjen Kaukus Parlemen Indonesia Luluk Nur Hamidah (virtual), Pengamat Politik Perludem Titi Anggraini dan Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka. (Foto : Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Perbaikan peraturan perundangan atau regulasi dan komitmen partai politik menjadi salah satu dari kunci meningkatkan keterwakilan dan pemberdayaan perempuan dalam perpolitikan di ASEAN.

Sebab afirmasi perempuan melalui ketentuan perundangan dan komitmen parpol menjadi akses penting bagi banyak perempuan bisa menduduki posisi strategis dalam partisipasi politik.

Pandangan tersebut mengemuka dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Kuota Keterwakilan Perempuan dalam Politik di Kawasan’ di media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Kamis (3/8/2023).

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah mengatakan untuk membuka kesempatan penuh kepada perempuan dalam partisipasi politik perlu membuat sistem yang didesain yang memudahkan perempuan bisa masuk dalam dunia politik.

“Untuk meningkatkan itu, pertama sekali aturan. Yang kedua dari sistem kepartaian itu sendiri, apakah memang mengadopsi 30% (kuota keterwakilan perempuan). Tapi keterpilihannya ternyata meskipun kita sudah 30%, keterpilihan kita belum mencapai maksimum. Itu masih sekitar 21%. Indonesia termasuk negara yang ke 110 posisinya di antara 193 negara yang masih 21% keterwakilan perempuan dalam politik,” ujar Anggota Komisi X DPR RI.

Senada, Pengamat Politik sekaligus Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengaku regulasi dan komitmen parpol merupakan sarana untuk membuka akses partisipasi perempuan bisa duduk dalam banyak jabatan strategis dan terlibat dalam pengambilan kebijakan negara.

Meski UU telah mengakomodir 30% kuata keterwakilan perempuan namun diakuinya terpilihan perempuan sangat tergantung kepada pemilih dalam menentukan pilihannya di pemilu. Hal itu karena paradigma dan cara pandang pemilih yang tidak berubah terhadap banyak hal sosok pemimpin dari kalangan perempuan.

“Maka agak sulit merekonstruksi pandangan-pandangan yang bias tadi. Jadi satu sisi kita berupaya dengan pendekatan formal yaitu regulasi,” ujarnya.

Soal kuota ini, Titi menambahkan tantangan di Pemilu 2024 adalah adanya regulasi KPU yang komitmennya justru menurun. Ia mencontoh, dalam daftar caleg di setiap dapil, sekarang berpotensi kurang dari 30% karena ada kebijakan pembulatan ke bawah. Yaitu adanya pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023. Saat ini, sejumlah aktivis perempaun sedang mengajukan uji materi PKPU tersebut ke Mahkamah Agung.

Kalau prosentase 30 % desimalnya kurang dari 0,50 maka dibulatkan ke bawah. Dalam catatan ada sekitar 600-an peluang perempuan untuk jadi caleg akhirnya tergeser karena perubahan kebijakan itu.

“Jadi secara formal dengan pendekatan regulasi sesuatu yang di tiga pemilu mulai menunjukkan kestabilan, ternyata mendapatkan tantangan begitu di 2024, karena adanya perubahan tadi tafsir dari penyelenggara pemilu kita,” kata Titi.

Komitmen partai politik juga sangat penting sebagai pintu masuk bagi peremnpuan bisa menjadi caleg di DPR dan DPRD yang menurut Titi, juga menjadi salah satu tantangan di Pemilu 2024.

“Harapan Kita partai politik itu bukan hanya menghadirkan perempuan di daftar calon, tetapi juga punya komitmen untuk mengawal keterpilihan,” tegas Titi.

Dengan demikian, Titi mengatakan bangsa ini membutuhkan keseimbangan politik di parlemen, sehingga kebijakannya pun diwarnai oleh paradigma yang adil dan ramah gender. Sehingga komitmen dan perjuangan parpol terhadap afirmasi perempuan mestinya tidak sekedar menggugurkan kewajiban amanat UU Pemilu tapi harus juga memperjuangkan keterpilihan perempuan duduk di parlemen. (Kds)