BERITABUANA.CO, JAKARTA – Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof.Dr. Djohermansyah Djohan menyebut bahwa pola penyeragaman dalam pengaturan desa merupakan salah satu masalah desa saat ini, di samping penyelenggaraan pembangunan desa.
“Pemerintah desanya, ya, cenderung diatur secara uniformitas, seragam, padahal desa itu beragam,” ucap pria yang akrab disapa Prof. Djo ini saat berbicara dalam diskusi Forum Legialasi bertajuk ‘Revisi UU Desa, Mampukah Pemerintah Desa Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat?’ di Media Center Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/7/2023).
Prof. Djo menuturkan bahwa pada masa pendudukan Belanda di Tanah Air pun kedudukan desa diatur menjadi dua, yaitu Inlandscbe Gemeente Ordonnantie (IGO) yang hanya berlaku di Pulau Jawa, dan Inlandchse Gemeente Ordonnantie Buitengeweesten (IGOB) untuk luar Pulau Jawa.
“Itu diatur sendiri juga karena ada kecenderungan desa-desa di luar Jawa tidak sama dengan desa di Jawa, itu contohnya. Jadi, kolonial pun memperhatikan keadaan kultural dari desa dan tradisi masing-masing,” tuturnya.
Untuk itu, eks Dirjen Otda Kemendagri itu mengingatkan agar pembuat undang-undang berhati-hati dalam membuat aturan tentang desa yang menyeragamkan kondisi desa di berbagai wilayah Indonesia.
“Jadi sebaiknya memang ini juga hati-hati kalau bikin pola menyeragamkan, ya, semuanya itu perangkatnya diseragamkan, lalu pengaturan misalnya yang diseragamkan buat peraturan desa harus kayak begini, seragam bikin APBDes harus seragam,” ujarnya.
Prof. Djo menyatakan perlunya pembenahan tata kelola pengawasan dan pemerintahan Desa terlebih dahulu, sebelum merealisasikan rencana masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun. Pembenahan tata kelola yang dimaksudnya, ada 3 hal.
Pertama, penguatan pengawasan itu dengan menempatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai Sekretaris Desa (Sekdes). Dengan menempatkan Sekdes yang profesional dan berkompeten dari kalangan ASN atau PNS maka pengawasan terhadap Kades terutama soal penggunaaan anggaran dapat berjalan maksimal.
“Biasanya Sekdes dipilih dari orang dekat yang membantu Kades saat pemilihan. Hal ini menutup celah pengawasan, utamanya dalam hal penggunaan anggaran karena Sekdes tak kuasa menolak perintah Kades, sekalipun hal itu menyalahi aturan. Menolak perintah Kades bisa berujung pada pencopotan jabatan Sekdes,” tegasnya lagi.
Pembenahan tata kelola pengawasan Kades yang kedua adalah terkait pengawasan oleh lembaga diatasnya, yakni inspektorat di pemerintah Kecamatan dan Kabupaten.
“Fungsi ini seringkali berjalan tidak maksimal, karena itu pengawasan Kades oleh lembaga diatasnya harus diperkuat. Bikin inspektorat punya perangkat sampai kecamatan,” timpalnya.
Pembenahan yang ketiga, masih menurut Prof. Djo, yaitu pada Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
“BPD yang sedianya bisa menjadi pengawas jalannya pemerintah desa justru dikooptasi oleh pemerintahan desa itu sendiri,” tegas Djohan. (Kds)