Oleh: Reino Graal Taliawo, S.Sos., M.Si*
IBARAT tubuh, demokrasi Indonesia sekarang ini sedang dalam keadaan sakit, terjangkit berbagai penyakit berupa patologi-patologi demokrasi. Sederhananya, ada 3 jenis, yakni korupsi politik, jual-beli suara, dan politik identitas. Beragam patologi ini salah satunya disebabkan oleh praktik politik kita selama ini yang transaksional—pertukaran materi demi kepentingan pribadi. Untuk memulihkannya, tentu kita memerlukan obat. Politik gagasan adalah “obat atas penyakit-penyakit tersebut”.
Politik Transaksional
Virus politik transaksional sudah mewabah tersebar luas dalam tubuh demokrasi kita. Ia menjangkit elite/kandidat, juga masyarakat. Data KPK (2004–2018) menunjukkan bahwa ada 247 kasus korupsi dengan anggota DPR dan DPRD sebagai terdakwa, 26 kasus adalah kepala lembaga atau kementerian, 199 kasus adalah Eselon I/II/III, dan jabatan lainnya. Sisi lain, hasil survei Transparency International (2020) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara tertinggi ketiga di Asia yang melakukan praktik jual-beli suara saat pemilu. Data-data ini cukup mencerminkan bagaimana elite menyumbang kebusukan bagi demokrasi kita.
Khususnya dalam momen politik, sebagian besar elite/kandidat selama ini hanya melihat masyarakat sebagai objek. Turun lapangan sebatas untuk menawarkan uang dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara singkat dan tidak substansial. Masyarakat ibarat sapi yang hidungnya dicocoki, lalu disuruh ke sana-kemari. Jika tidak ada uang, politik identitas adalah alternatif. Memainkan narasi dan mengeksploitasi kesamaan/perbedaan suku, agama, dan ras untuk menegasikan kandidat lainnya.
Tak terhindari, buah praktik yang transaksional ini adalah pemimpin yang korup. Pemimpin yang korup akan menghasilkan kebijakan yang korup. Hal ini dipertegas Firli Bahuri (Ketua KPK) bahwa jual-beli suara dan suap-menyuap adalah akar untuk tumbuh suburnya korupsi (pemilu.kompas.com). Main anggaran sana-sini, demi memfasilitasi kepentingan-kepentingan pribadi. Ujungnya, hak kesejahteraan rakyat akan terciderai. Misal, pengurangan kualitas aspal jalan raya, pengurangan dana sekolah dan fasilitas kesehatan, serta lainnya.
Seperti spiral, masyarakat juga turut andil dalam busuknya demokrasi kita. Masih sering kita temui masyarakat yang bersikap pragmatis dan gampangan dengan mengubah momen politik menjadi momen ekonomi. Pada tahap ini, masyarakat juga menjadi elite/kandidat sebagai objek. Mereka bertransaksi dengan kandidat dan memilihnya. Masyarakat melihat kandidat sebagai mesin ATM yang layak dimanfaatkan. Kandidat yang datang dimintai “uang jatah” untuk keperluan ini-itu yang sifatnya privat/kelompok. Moment politik diubah menjadi kesempatan ekonomi.
Politik Gagasan
Realitas politik kita, satu sama lain, warga dan kandidat, tidak melihat masing-masing sebagai subjek dalam politik. Padahal, yang idealnya harus ada dalam demokrasi kita adalah pertukaran gagasan/ide, bukan materi. Ini mensyaratkan satu sama lain harus menjadi subjek. Meminjam konsep demokrasi deliberatifnya Habermas (1992), elite/kandidat dan masyarakat perlu menjadi subjek dalam diskusi dan perdebatan di ruang-ruang publik mengenai kebijakan publik. Ada kesamaan kesempatan untuk saling berpartisipasi supaya legitimasi kebijakan yang dihasilkan kelak adalah benar kebijakan publik, bukan kebijakan privat.
Kandidat menawarkan gagasan dan agendanya ke depan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sisi lain, masyarakat menagih dan menghakimi gagasan serta agenda elite/kandidat ke depan. Mereka perlu saling aktif terlibat dan melibatkan diri mempertukarkan ide di ruang-ruang publik, yang kelak akan menghasilkan kebijakan publik yang juga menyangkut dirinya.
Hanya karena praktiknya sudah begitu lama, politik transaksional bukan berarti suatu budaya yang mendarah daging. Kita bisa terlepas atasnya dan optimistis akan perubahan yang lebih baik selalu ada. Perlu diyakini bahwa setiap kita masih punya moralitas yang baik untuk mengendalikan diri dan mengharapkan perubahan yang baik. Nilai-nilai ini yang disebut Francis Fukuyama (2002) bisa menjadi modal sosial dan kolektif untuk menjalin kerja sama. Siap berperan dalam mengubah politik transaksional menjadi politik gagasan, politik yang berlandaskan gagasan/ide.
Ubi yang dipanen hari ini, tidak ditanam kemarin sore. Mari memulainya sekarang. Perlu ada kesadaran dan kerja bersama untuk berkomitmen menjalankan politik gagasan. Tubuh politik Indonesia harus segera pulih dan bebas dari penyakit-penyakit yang menggerogotinya. ***
* Penulis adalah Caleg DPD RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Maluku Utara