BERITABUANA.CO, JAKARTA – Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo menuturkan penghapusan diskriminasi dan penghormatan terhadap hak perempuan adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi, bukan hanya di negara berkembang, tapi juga menjadi permasalahan di negara-negara maju.
Jadi, kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu, momen yang terbaik menancapkan tonggak penghapusan diskriminasi perempuan itu adalah saat ini, memperingati Hari Tanpa Diskrimansi 1 Maret dan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret.
Bamsoet, biasa Bambang Soesatyo disapa, mencontohkan Amerika Serikat (AS). Berdasarkan laporan Pew Research Center 2022, sebanyak 82 persen responden menganggap rasisme sebagai masalah utama bagi warga kulit hitam AS dan 68 persen responden menyatakan bahwa diskriminasi rasial menjadi penyebab terhambatnya kemajuan warga kulit hitam.
Di Perancis, berdasarkan hasil survei yang dirilis badan statistik dan Institut Studi Demografi negara bagian Prancis, Ined, diperoleh fakta bahwa anak-anak imigran dengan latar belakang berkebangsaan Afrika dan Asia, menghadapi perlakuan diskriminasi yang terjadi terus-menerus.
“Sedangkan di Jerman, hasil studi DeZIM Institute mengungkapkan 65 persen dari 5.000 orang yang disurvei meyakini, bahwa masih ada masalah diskriminasi rasial yang terjadi di Jerman. Hampir 45 persen responden juga mengatakan mereka pernah menyaksikan terjadinya insiden rasis. Sementara 22 persen mengatakan pernah mengalami rasisme secara langsung,” ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI memperingati Zero Discrimination Day dan International Women’s Day, di Gedung Nusantara V MPR RI, Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Hadir dalam acara itu, antara lain, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dan Arsul Sani, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS Muhammad Nasir Djamil, Country Director UN-AIDS Krittayawan Boonto, Ketua Umum ILUNI UI Didit Hidayat Ratam, dan Project Manager Zero Discrimination Day Ayuningtyas Widari Ramdhaniar.
Menurut Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan, Indonesia, berdasarkan laporan Bank Dunia pada awal Maret 2023, mendapatkan skor kumulatif 70,6 dalam hal jaminan kesetaraan hak ekonomi laki-laki dan perempuan. Artinya, untuk Asia Tenggara, posisi Indonesia masih tertinggal dari Laos, Vietnam, Timor Leste, Singapura, Kamboja, Filipina, dan Thailand.
“Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 mencatat, dari 17 juta penyandang disabilitas yang telah memasuki usia produktif, hanya 7,6 juta yang terserap dunia kerja. Ini hanyalah sebagian kecil dari cerminan atas ketidakmampuan kita memenuhi amanat pasal 53 UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang telah mengatur kuota tenaga kerja penyandang disabilitas sebesar 2 persen pada lembaga pemerintahan dan BUMN/BUMD, dan 1 persen pada sektor swasta, dari total jumlah pegawai/pekerja,” tandas Bamsoet.
Selanjutnya, terang Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini, perlakuan diskriminatif juga masih dapat dirasakan dalam bidang hukum.
Hasil survei KOMNAS HAM bekerjasama dengan Litbang KOMPAS pada Oktober 2021 mengungkap sebanyak 27,8 persen responden mengatakan pernah menyaksikan, mendengar, atau bahkan mengalami perlakuan diskriminatif pada saat berhadapan dengan aparat penegak hukum.
“Berbagai gambaran mengenai sikap dan perlakuan diskriminatif yang terjadi di negara-negara maju tersebut menyiratkan pesan penting, bahwa isu tentang diskriminasi adalah persoalan global. Karenanya, harus disikapi secara kolektif oleh segenap komunitas internasional, melalui kerjasama yang mengedepankan prinsip kesetaraan, sinergi, dan kolaborasi,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menambahkan, ditengah berbagai persoalan tersebut, bangsa Indonesia patut bersyukur bahwa sesunguhnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah memberikan landasan pijak yang fundamental. Beberapa ketentuan dalam konstitusi yang dapat kita jadikan rujukan antara lain, Pasal 27 Ayat (1); Pasal 28 B Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1); Pasal 28I Ayat (1); dan Pasal 28I Ayat (2).
Kemudian, dari landasan konstitusional tersebut, lahirlah peratuan perundang-undangan turunan di bawahnya. Semisal, UU No. 40/2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis; UU No. 1/1974 tentang Perkawinan; UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pekerjaan, serta berbagai rujukan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Namun yang penting diingat adalah, bahwa penguatan aspek regulasi harus berjalan beriringan dengan implementasinya, agar benar-benar memberikan dampak nyata. (Jimmy/Kds)