IPK Indonesia 2022 Anjlok, Pengamat Sarankan Vonis Pelaku Korupsi Tiru China

by
Adilsyah Lubis, pegiat anti korupsi.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pengamat hukum dan penggiat anti korupsi, Adilsyah Lubis mengatakan kalau pemberantasan korupsi di negeri ini belum sepenuhnya seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 seperti yang  dilansir oleh Transparency International Indonesia (TII).

“Mau bilang apa, kondisi seperti itu sebuah realitas. Dengan demikian, tugas kita semua adalah serius dan sungguh-sungguh memerangi korupsi itu sendiri, tak sekedar retorika,” kata Adilsyah kepada beritabuana.co di Jakarta, Jumat (3/2/2023).

Seperti diketahui, TII baru saja menyampaikan hasil IPK tahun 2022, yang berada di skor 34. Artinya, angka ini turun empat poin dibanding pada tahun 2021.

Dalam keterangannya, Manajer Departemen Riset TII, Wayan Suyatmiko membeberkan, IPK Indonesia tahun 2022 berada di skor 34 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara di survei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 lalu yang berada pada skor 38, atau merupakan penurunan drastis sejak 1995.

Menurut Wayan, ada sejumlah alasan IPK Indonesia anjlok empat poin pada 2022. Amgka itu sendiri dihitung dari delapan indikator yang diamati oleh TII.

Anjloknya IPK Indonesia, lanjut Adilsyah, menjadi bukti bahwa pemberantasan korupsi di negari ini belum sepenuhnya menjadi harapan masyarakat. Dalam pengamatannya, anjloknya IPK Indonesia 2022 tersebut bisa jadi karena vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi rata-rata ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera.

“Saya memperkirakan, ini semua bisa terjadi disebabkan tidak diterapkannya vonis yang berat terhadap pelaku korupsi agar bisa menjadikan efek jera bagi mereka,” sebut Adilsyah.

Pada hal menurutnya, jika Indonesia meniru China dalam hal pemberantasan korupsi, maka kemungkinan besar perbuatan atau perilaku koruptif, khususnya oleh pejabat akan berkurang drastis.

“Kita  bisa menjadikan contoh seperti pemberantasan korupsi di negara tirai Bambu  yang memberikan vonis yang berat bagi pelaku korupsi,” kata dia.

Karena itu lah Adilsyah mengusulkan perlunya evaluasi secara menyeluruh bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Indonesia. Evaluasi tersebut sebut dia sangat penting dilakukan karena berkaitan langsung dalam pemberantasan korupsi.

Misalnya vonis kepada seorang koruptor yang hanya dijatuhi hukuman penjara 2 tahun, pada hal terbukti kerugian negara akibat korupsi tersebut, tidak akan membawa efek jera kepada yang lain.

Juga tambah Adilsyah, sangat  diharapkan dukungan penuh dari kelompok lembaga swadaya masyarakat untuk mendorong kinerja aparatur penegak hukum untuk segera mengevaluasi secara menyeluruh bagi kinerja nya. Hal ini diperlukan  untuk meningkatkan kinerja dalam peningkatan IPK diwaktu waktu mendatang.

“Apa yang disampaikan lembaga TII , yaitu anjloknya IPK Indonesia, sebagai cerminan belum berhasilnya korupsi di negara kita,” ujarnya. (Asim)