Mengheningkan Cipta untuk Pejuang Pro Mega di HUT ke-50 PDI Perjuangan

by
Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan. (Foto: Ist)

Oleh: Andoes Simbolon

MEGAWATI Soekarnoputri atau akrab disapa Mbak Mega tak bisa dipisahkan dengan PDI Perjuangan (PDIP). Begitu juga sebaliknya, PDIP tak bisa dipisahkan dengan Mbak Mega. Relasi keduanya begitu melekat, baik secara historis maupun secara ideologis. Bahkan kalau digambarkan lebih ekstrim lagi, darah PDIP mengalir dalam tubuh dan darahnya Mbak Mega, begitu juga sebaliknya.

Tepat tanggal 23 Januari nanti, usia Mbak Mega masuk 76 tahun. Meski sudah tua, tetapi Mbak Mega terlihat masih sehat walafiat, tetap energik dan semangat memimpin masih berkobar. Disisi lain, jika dihitung mulai tahun 1999, berarti Mbak Mega sudah memimpin PDIP selama kurang lebih 24 tahun, hampir sama dengan umurnya Reformasi di Indonesia. Kenapa tahun 1999, karena pada tahun ini lah di deklarasikan nama partai politik bernama PDI Perjuangan. Waktunya, beberapa bulan sebelum diadakan pemilihan umum (Pemilu) Legislatif atau Pileg.

Perlu diketahui, penambahan kata Perjuangan dibelakang PDI, karena PDI kubu Soerjadi merupakan peserta pemilu. Sementara menurut ketentuan, tidak dibolehkan nama partai politik yang sama sebagai peserta pemilu. Sementara PDI kubu Mega sudah siap untuk mengikuti kontestasi pemilu tersebut. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali mengikuti aturan.

Saat deklarasi itu, Gelora Bung Karno (GBK) merah total, akses jalan menuju GBK macet karena begitu banyaknya arus massa pendukung Mbak Mega yang hendak datang ke GBK. Gedung olahraga yang digagas Presiden Soekarno ini menjadi saksi bisu kemeriahan acara deklarasi tersebut.
Begitu sumringah wajah Mbak Mega termasuk suaminya almarhum Taufik Kiemas menyaksikan antusias pendukungnya yang datang menghadiri acara deklarasi PDI Perjuangan. Semua yang hadir merasa optimistis, PDIP akan sukses atau menang dalam pemilu pertama di era reformasi tersebut. Pengamat politik juga tak ketinggalan membuat perkiraan atau analisis peluang PDIP terbuka lebar untuk memenangkan Pemilu 1999.

Jika dihitung mundur, mulai tahun 1993, saat Mbak Mega dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Kemang, Jakarta Selatan, maka sejati nya Mbak Mega telah menduduki jabatan ketua umum partai selama kurang lebih 30 tahun. Artinya, sudah lama sekali. Artinya lagi, pengalaman Mbak Mega sebagai pimpinan partai politik belum terkalahkan atau belum tertandingi oleh siapa pun di Tanah Air.

PDIP memang punya sejarah tersendiri dalam mengarungi samudra perpolitikan di Tanah Air. Tidak ujug-ujug, tidak serta merta menjadi sebuah partai politik besar serta berkuasa seperti yang kita saksikan hari ini. Kisahnya bisa dikatakan berliku dan memilukan.

Itu semua diawali dari perbedaan pendapat pengurus DPP PDI dalam sebuah rapat di kantor mereka Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat, tepatnya di tahun 1996, atau satu tahun menjelang Pemilu 1997. Perbedaan pendapat itu menjurus dua kubu, hingga pada akhirnya dikenal dengan DPP pendukung Kongres dan penolak Kongres.
Celakanya, karena keberpihakan pemerintah saat itu, kubu Mbak Mega yang menolak kongres berhasil dikalahkan oleh kubu Fatimah Ahmad, yang begitu ngotot melaksanakan kongres. Pendek cerita, kongres yang dimaksud kubu Fatimah dan didukung oleh pemerintah bersama ABRI berjalan mulus tanpa ada hambatan di kota Medan, Sumut, dan seketika berhasil memilih Soerjadi (almarhum) sebagai Ketua Umum. Kemudian ditunjuk Sekretaris Jenderal nya adalah almarhum Buttu Hutapea, seorang tokoh PDI di Sumut dari unsur Parkindo. Lalu dibentuk lah susunan kepengurusan lengkap DPP PDI produk kongres periode 1996 -2001.

Begitu lah ceritanya. Tentu saja pemerintah dan ABRI hanya mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan atau dibawah pimpinan Soerjadi – Buttu Hutapea. Sedang PDI dibawah pimpinan Mbak Mega bersama Sekjen DPP PDI almarhum Alexander Litaay (Lexy), otomatis tak diakui oleh pemerintah. Karena begitu lah sistem politik di era Orde Baru, pembinaan politik mutlak di tangan pemerintah sehingga eksistensi sebuah partai politik maupun organisasi kemasyarakatan (Ormas) harus mendapatkan pengakuan atau legalitas dari pemerintah. Kalau tidak diakui, jangan sesekali menegakkan bendera, siap-siap saja berhadapan dengan pemerintah.

Hal ini antara lain bisa dibuktikan saat pemilu 1997, hanya PDI dibawah pimpinan Soerjadi – Buttu Hutapea lah yang diperbolehkan menjadi partai politik peserta pemilu bersama Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedang PDI dibawah pimpinan Mbak Mega hanya penonton saja ketika itu. Kubu Mega sempat mengantar daftar calon Anggota Legislatif (cCaleg) ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), tapi itu hanya langkah sia-sia, karena memang ditolak oleh KPU.

Selepas peristiwa pengambil alihan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada tanggal 27 Juli 1996, nasib PDI pimpinan Mbak Mega memprihatinkan dan memilukan. Sudah terang-terangan pemerintah tidak mengakui keberadaannya, tapi mereka tidak menyerah begitu saja. Karena ada keyakinan, DPP PDI yang dikukuhkan pada tahun 1993 tetap sah, baik secara de jure maupun secara de fakto.

Seperti diketahui, kubu-kubuan di internal PDI tak hanya melanda DPP, tetapi juga merembet ke bawah. Sehingga, kepengurusan PDI di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota juga ikut terbelah. Meski lebih sedikit jumlahnya, beberapa pengurus DPD dan DPC PDI di seluruh Indonesia tetap menyatakan kesetiaannya dan loyal kepada Mbak Mega sebagai ketua umum yang sah. Mereka ini lah yang berani pasang badan untuk Mbak Mega. Mereka rela tidak menjadi Anggota DPRD demi mendukung dan kecintaannya kepada Mbak Mega.

Sudah jelas kegiatan mereka di daerah tidak mengenakan. Ini tak lepas dari keputusan pemerintah bahwa setiap kegiatan PDI dibawah bendera Megawati adalah ilegal alias tidak sah. Larangan itu dijalankan oleh pemerintah daerah termasuk jajaran aparat keamanan. Semua aktivitas atau kegiatan kepartaian yang diadakan PDI kubu Mbak Mega diawasi oleh aparat keamanan. Namun hebatnya lagi, mereka ini tidak takut berhadapan atau berurusan dengan aparat keamanan. Sebut saja sebagai contoh, Jakobus KM Padang di Makassar, Sulawesi Selatan. Dia bersama istrinya Emmy Rente beberapa kali harus berurusan dengan aparat keamanan di sana. Itu dilakukan karena kesetiannya kepada Mbak Mega sebagai pimpinan PDI yang sah.

Masih banyak lagi loyalis Mega di daerah yang tak bisa disebut satu persatu tidak menyerah kepada keadaan, tidak mau bergabung dengan PDI dibawah pimpinan Soerjadi seperti yang disarankan oleh pemerintah. Mereka semua satu kata dengan perbuatan seperti tokoh PDI kubu Mega di Jakarta, almarhum Roy BB Janis atau Ribka Tjiptaning. Para loyalis Mbak Mega tersebut selalu menanti perintah atau ikut dengan komando dari DPP PDI kubu Megawati. Perlu diingatkan, meski sudah tidak diakui, roda kepartaian terus dijalankan oleh Alexander Litaay (Lexy), Haryanto Taslam, Mangara Siahaan, Jhon Sare, Soetardjo Suryoguritno, Tarto Sudiro dan Noviantika Nasution. Kecuali Noviantika, nama-nama tersebut sudah meninggal dunia. Semasa hidupnya, mereka dapat disebut menjadi otak dari pertahanan dan kekuatan PDI pimpinan Mbak Mega. Dengan segala cara, Lexy dan yang lain merancang aktivitas dalam rangka konsolidasi para pendukung Mbak Mega yang tetap setia di seluruh wilayah. Konsolidasi paling penting itu adalah melengkapi struktur kepengurusan PDI pro Mega mulai tingkat provinsi (DPD) dan kepengurusan tingkat kabupaten/kota (DPC). Karena setelah terbentuknya DPP PDI versi kongres di Medan, bisa dikatakan keadaan di daerah mengalami guncangan termasuk dalam kepengurusan.

Tentu saja konsolidasi ini bukan pekerjaan yang mudah, tetapi berat dan beresiko. Lexy dan yang lain bekerja keras mencari orang yang mau untuk menjadi pengurus. Saat itu tidak mudah orang mau menjadi pengurus PDI kubu Mbak Mega, karena ada ketakutan kepada penguasa. Seterusnya begitu, DPD yang sudah ada bertugas menyusun atau membentuk kepengurusan ditingkat DPC dengan tantangan yang sama. Sehingga yang mau jadi pengurus pada saat itu memang mereka yang benar-benar pemberani dan tanpa pamrih. Perlu juga dikisahkan pengalaman pahit Lexy dan kawan-kawannya ketika suatu hari kantor pengasingan DPP Kubu Mega disegel di kawasan Condet, Jakarta Timur. Aparat Satpol PP dibantu aparat keamanan meminta mereka untuk meninggal kan rumah tersebut. Tapi, pengusiran itu tidak membuat mereka menyerah dan cengeng.
Setiap malam Rabu, ratusan pendukung Mbak Mega dari berbagai lapisan datang ke rumah Mega – Taufiq Kiemas di kawasan Kebagusan, Jakarta Selatan. Di sana mereka berkumpul untuk saling menguatkan agar perjuangan tidak berhenti. Diantara yang datang itu, laki-laki dan perempuan, banyak bersandal jepit, menyewa Metro Mini atau angkot tetapi dengan semangat berapi-api. tuan rumah pun harus berurusan dengan Kepolisian karena kegiatan Malam Reboan itu. Suasana demikian berlangsung hingga tahun 1998, atau setelah jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto dan digantikan oleh BJ Habibie sebagai Presiden RI.

Perjuangan kubu Mega sejak penyerangan kantor DPP di Jalan Diponegoro tidak sia-sia atau membuahkan hasil. Konsolidasi yang dilakukan di bawah tekanan penguasa dan secara diam-diam terlihat dengan jelas saat deklarasi PDI Perjuangan di GBK. Optimisme tersebut juga sudah terbayang di depan mata saat PDI kubu menggelar Kongres di Bali tahun 1998. Tidak ada kesulitan mendapat ijin untuk perhelatan kongres. Sejumlah tokoh nasional termasuk purnawirawan ABRI hadir disana. Tekad PDI Perjuangan untuk ikut pemilu sudah bulat dan tak bisa ditawar. Hasilnya menakjubkan, karena PDIP tampil sebagai pemenang mengalahkan partai politik lainnya. Dukungan masyarakat kepada PDIP pimpinan Ibu Mega luar biasa. Partai ini berhasil meraih 153 kursi di DPR RI dengan perolehan 35 juta lebih suara (33,74 persen).

Karena itu tidak ada salahnya seluruh undangan yang hadir di HUT ke 50 PDIP hari Selasa ini, mengheningkan cipta sejenak dan berdoa kepada pejuang PDI pro Mega yang sudah lebih dulu meninggalkan kita semua. ***