KHDPK untuk Kepentingan Perhutanan Sosial, Penataan Kawasan Hutan, Rehabilitasi Hutan, dan Perlindungan Hutan

by
Pemerhati lingkungan, Cepi Dadang Komara. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2021, sebagaimana Pasal 112 (1). Kemudian, KHDPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk kepentingan Perhutanan Sosial; Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan; Penggunaan Kawasan Hutan; Rehabilitasi Hutan; Perlindungan Hutan; atau Pemanfaatan Jasa Lingkungan.

Penjelasan tersebut disampaikan pemerhati lingkungan, Cepi Dadang Komara menjawab pertanyaan media, Minggu (24/7/2022), mengenai Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), yang kini jadi perbincangan masyarakat.

Lebih lanjut, Cepi juga menyebutkan Pasal 125 ayat (7), terhadap Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi yang tidak dilimpahkan penyelenggaraan pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus untuk kepentingan Perhutanan Sosial, Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan dan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, rehabilitasi Hutan atau Pemanfaatan Jasa Lingkungan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Dijelaskan Cepi, setelah bertahun-tahun kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lambat memberikan hasil, sementara diantaranya kejadian bencana alam banjir dan longsor terus terjadi, menuntut perbaikan lingkungan, hadirnya KHDPK menyiratkan kawasan hutan yang dimandatkan untuk dikelola BUMN, dalam hal ini Perhutani kembali ditarik oleh Pemerintah.

Perhutani yang mengelola 2.433.024,7 hektar hutan pulau Jawa atau 18% dari luasan Pulau Jawa, melalui SK Menteri LHK Nomor: SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus Pada Sebagian Hutan Negara Yang Berada Pada Kawasan Hutan Produksi Dan Hutan Lindung Di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, menarik mandat kelola seluas ±1.103.941 Ha dari Perhutani untuk kembali dikelola oleh Pemerintah.

Sebanyak 338.944 Ha diantaranya berada di Provinsi Jawa Barat dengan rincian ±163.427 Hutan Lindung dan ±175.517 Ha Hutan Produksi. Gunung Cikurai Kabupaten Garut dan Kawasan Hutan Lindung Hutan Produksi Ciwidey Kabupaten Bandung masuk di dalamnya.

“Hadirnya KHDPK di tengah masyarakat sebetulnya ibarat tamparan keras orang tua terhadap anaknya yang bandel melaksanakan tugas dan fungsinya untuk melaksanakan perlindungan hutan dan reboisasi serta rehabilitasi, tanpa mengumbar aibnya dikarenakan masih anak. Perhutani seharusnya berterimakasih dikarenakan beban tugas pokok fungsinya dikurangi oleh orang tua, sehingga Perhutani cukup mengelola yang memang sesuai kemampuannya untuk dikelola,” ujar Cepi.

Mengenai munculnya kekhawatiran akan rusaknya lingkungan, sebetulnya menurut penilaian Cepi, bukan menjadi alasan sebagian masyarakat yang menentang KHDPK. Sebagaimana contoh wilayah Gunung Cikurai yang sejak terjadinya banjir bandang tahun 2016 hingga saat ini, tidak nampak dilakukan pembenahan fungsi dan peruntukan serta perlindungan hutan oleh pemegang mandat kelola dan tidak pula ada jaminan kedepan rehabilitasi akan dilaksanakan oleh pemegang mandat, Perhutani.

“Langkah strategis Menteri LHK dengan terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor : SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus,” tegasnya lagi.

Nampaknya Menteri Siti Nurbaya juga telah mengambil langkah strategis dengan melibatkan banyak Direktorat Jenderal dalam pelaksanaan KHDPK, satu diantaranya Ditjen Penegakkan Hukum yang disiapkan untuk melaksanakan perlindungan hutan.

Tepis Kekhawatiran Terhadap KHDPK

Sementara bagi Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, kata Cepi, menjadi tantangan tambahan untuk menepis kekhawatiran sebagian masyarakat terhadap KHDPK serta harus sanggup berpacu menyeimbangkan antara mensejahterakan masyarakat yang menjadi mitra kelola dengan percepatan perbaikan lingkungan. Karenanya ke depan, diharapkan narasi bencana alam banjir dan longsor di pulau Jawa akan hilang di dalam The Forest State dan The Environment State Indonesia.

“Yang perlu disegerakan oleh KLHK adalah segera sosialisasikan maksud dan tujuan dari KHDPK secara detail agar opini-opini liar yang tidak produktif sirna dan para penunggang liar segera memahami maksud dan tujuan secara utuh,” kata Cepi mengingatkan.

Adapun yang harus dinantikan katanya, adalah Keputusan Menteri tentang siapa pengelola dari KHDPK dan bagaimana Wasdal (Pengawasan dan Pengendalian) dari KHDPK. Pengelola dan wasdal bisa menunjukan keseriusan KLHK dalam KHDPK. (Ery)