Nobar Film dan Diskusi ‘Sangihe Melawan Premanisme Negara’, Kanti W Janis: Ini Masalah Kemanusiaan

by
Diskusi dan nobar film dengan tema ‘Sangihe Melawan Premanisme Negara: di Baca Di Tebet pada Senin, 11 Juli 2022. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Koalisi Save Sangihe Island mengadakan diskusi dan nobar film dengan tema ‘Sangihe Melawan Premanisme Negara: di Baca Di Tebet pada Senin, 11 Juli 2022. Acara dibuka dengan pemutaran film ‘Sangihe Melawan’ yang diproduksi Watchdoc Documentary.

Usai pemutaran film Sangihe Melawan, acara dilanjut dengan diskusi yang diisi oleh oleh Soleman Ponto, Jan Takasihaeng dan Venetzia Andemora (Save Sangihe Island/SSI), Rivanlee Anandar (Komisi Untuk Orang Hilang dan dan Korban Tindak Kekerasan/KontraS), Afdillah (Greenpeace Indonesia), Dipo (Watchdoc Documentary) dan dimoderatori oleh Kanti W. Janis.

Film Sangihe Melawan merupakan project kolaborasi Watchdoc dengan Greenpeace Indonesia yang masuk dalam serial Demi 1%. Serial ke-5 ini mengulas bagaimana oligarki bekerja melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), dan UU Minerba yang baru. Sangihe Melawan merekam bagaimana warga Sangihe berjuang mempertahankan potensi kerusakan yang terjadi di pulaunya.

Kanti W. Janis selaku penggagas acara ini mengungkapkan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman tentang konflik perampasan tanah di Kepulauan Sangihe. “Ini masalah kemanusiaan, ini soal kedaulatan bangsa dan negara,” tegasnya.

Ada pun tema dialog, lanjut Kanti, adalah Sangihe Melawan Premanisme Negara, yang dirasa cocok menggambarkan konflik di Sangihe. “Di mana negara yang harusnya melindungi rakyat dan menegakkan hukum, malah menabrak hukum, demi melancarkan kegiatan pertambangan PT Tambang Mas Sangihe (TMS),” kata dia lagi.

Pada pembukaan diskusi, Kanti juga menjelaskan bahwa banyak juga orang dari Sangihe yang berjasa untuk negara di berbagai bidang. Termasuk Soleman B Ponto, mantan kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), kelahiran Tahuna, Sangihe.

“Ada juga sastrawan L. K. Bohang, penyanyi Ruth Sahanaya, Rudolf Hemanses Menteri Agraria jaman Bung Karno, AA Baramuli yaitu Jaksa Agung, Nico Kansil yang merupakan Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, hingga Roy BB Janis yang merupakan pendiri PDI Perjuangan,” jelasnya.

Menyulut Konflik

Koordinator Save Sangihe Island, Jan Takasihaeng menjelaskan setelah adanya putusan PTUN Manado tentang pembatalan izin lingkungan, tidak serta merta izin ke atasnya menjadi runtuh karena izin dasarnya dicabut. Setelah izin itu dicabut justru saat ini PT TMS memobilisasi alat berat yang dikawal oleh aparat kepolisian, sehingga menyulut konflik dari masyarakat Sangihe.

“Di Sangihe, 2 minggu setelah putusan PTUN dicabut justru perusahaan memobilisasi alat berat dan dikawal oleh aparat dan sampai saat ini di masyarakat telah terjadi konflik sosial juga antara masyarakat dengan aparat kepolisian,” kata Jan.

Jan juga menjelaskan bahwa saat ini Koalisi Save Sangihe Island telah seminggu di Jakarta untuk berkoordinasi dengan beberapa lembaga negara maupun lembaga yang lain. “Kita ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menegaskan Undang-undang no 1 tahun 2014 dan meminta KKP untuk tidak memberikan izin pemanfaatan pulau. Kita juga ke KLHK juga dan Kementerian Dalam Negeri,” tambahnya lagi.

SIS saat ini juga dibantu oleh PP Muhammadiyah untuk mengawal kasus ini. Mereka juga meminta bantuan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk berkoordinasi tentang terjadinya kriminalisasi terhadap salah satu aktivis lingkungan yang sedang mempertahankan ruang hidup di Sangihe.

“Saat ini di Sangihe tidak aman-aman saja. Kita di sana kepercayaan terhadap penegak hukum khususnya terhadap aparat itu menurun karena selama kita berhadapan dengan aparat keamanan terlebih khusus Polri saat kita berlawanan dengan PT TMS ini,” kata Jan.

Kemenangan warga Sangihe di PTUN Manado yang membatalkan Izin Lingkungan, tidak juga membuat negara berdiri bersama warga untuk mengusir PT TMS, malah membiarkan krimininalisasi kepada warga setempat yang membela hak hidupnya. Kontrak karya yang diberikan pemerintah melalui Kementerian ESDM kepada PT TMS membuat izin tambang emas inin berpotensi merusak lingkungan di Pulau Sangihe, dan mengancam penghidupan masyarakat. Mengingat mayoritas warga Sangihe menggantungkan hidup dari hasil alam.

Pengamat Intelejen kelahiran Sangihe, Soleman B. Ponto mengungkapkan penambangan di Pulau Sangihe merupakan Eco Genocide. Banyak pelanggaran yang dilakukan Negara dan PT TMS terkait izin penambangan ini. Pada persidangan di PTUN Jakarta pada 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe telah terjadi skandal hukum.

“Akibat adanya skandal itu maka Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe dapat dikatagorikan sebagai “above the law” karena melanggar beberapa Undang-undang bahkan melanggar UUD 45. Selama ini isi dari Kontrak Karya antara Menteri ESDM dan PT TMS tidak pernah dibuka untuk umum. Kontrak Karya itu sepertinya dirahasiakan isinya,” kata Soleman.

Soleman menambahkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 163.K/MB.04/DJB/2021 Tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe adalah malapetaka bagi rakyat Sangihe.

“Sudah pulaunya ditenggelamkan, orangnya pun dilenyapkan. Karena itu seluruh rakyat Sangihe harus bersatu padu untuk melawan upaya genocide Orang Sangihe dan menjaga agar Pulau Sangihe tidak hilang dari Bumi,” ungkap Purnawirawan Angkatan Laut ini.

Legalkan Cara Prenanisme

Deputy Coordinator KontraS, Rivanlee Anandar juga melihat bahwa saat ini negara telah melegalkan cara-cara premanisme dalam upaya pembangunan yang sedang digencarkan pada era Jokowi saat ini. Upaya premanisme tersebut terlihat dari masifnya keikutsertaan aparatur negara dalam upaya pembangunan yang terjadi saat ini.

“Beberapa contoh keterlibatan aparat dapat kita lihat secara langsung di Sangihe, Wawonii, Wadas, Obi, dan beberapa daerah lainnya. Watak developmentalis Presiden Joko Widodo ternyata melahirkan bentuk “premanisme” negara yang tak taat pada hukum dan kerap sewenang-wenang,” kata Rivanlee.

Sutradara Film Sangihe Melawan, Muhammad Sridipo menyampaikan dokumenter ini mengulas bagaimana oligarki bekerja melalui UU Ciptakerja dan UU Minerba yang baru. “Sangihe Melawan” merekam bagaimana warga Sangihe berjuang mempertahankan potensi  kerusakan yang terjadi di pulaunya.

“Serial Dokumenter Sangihe Melawan memposisikan dirinya bukan hanya mengulas dampak UU Ciptakerja dan perlawanan warga. Dokumenter ini juga menempatkan dirinya untuk ambil bagian sebagai medium advokasi. Mengajak masyarakat umum untuk turut memberikan dukungan kepada masyarakat Sangihe yang hingga hari ini terus berjuang mempertahankan ruang hidupnya,” kata Dipo. (Asim)