Fahri Hamzah Berharap Presiden Jokowi Harus Konsen Sahkan RUU KUHP

by
Pedas, Mantan-Anggota-panja-RUU-KUHP-Fahri-Hamzah-1
Waketum DPN Partai Gelora Fahri Hamzah (Foto : Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 Fahri Hamzah berharap agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa mengakhiri pemberlakuan Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan Kolonial Hindia Belanda saat ini, dengan segera mengesahkan RUU KUHP bersama DPR RI, dalam masa persidangan sekarang.

“Saya kira pada masa Pak Jokowi, di tahun ini kita bisa mengakhiri pemberlakuan undang-undang peninggalan kolonial (KUHP, red). Elektablitas Pak Jokowi akan naik kalau begini, saya kira,” kata Fahri Hamzah saat menjadi narasumber dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema ‘RUU KUHP dan Nasib Hukum Indonesia’ di Media Center Gedung Nusantara III di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa kemarin (7/6/2022).

Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia ini mengungkapkan, sebenarnya DPR RI Periode 2014-2019 pada masa dirinya menjadi Wakil Ketua DPR, pembahasan RUU KUHP sudah selesai tinggal ketok palu saja, untuk dilakukan pengesahan di Rapat Paripurna DPR RI. Tapi karena ada demo besar-besaran anak STM, akhirnya ditunda.

“Masih ingat kita 2019 akhir ada tekanan luar bisa, sehingga kita tidak sempat menggelar Rapat Paripurna pengesahan. UU-nya tinggal ketok palu saja,” katanya.

Karena itu, dia berharap agar DPR RI dan Pemerintah Periode 2019-2024 ini segera mengesahkan RUU KUHP dalam masa persidangan ini. Pengesahan tersebut, juga sebagai bentuk penghormatan kepada Ketua Tim Perumus RUU KUHP, Alm. Prof Muladi.

“Saya hadir di rapat-rapat bersama Pak Muladi ketika itu, saya terharu dengan pernyataan beliau, sebelum meninggal beliau mengatakan ingin melihat undang-undang ini (RUU KUHP, red) disahkan. Sekarang beliau sudah almarhum, ayolah kita selesaikan undang-undang ini,” imbuhnya.

Semasa masuk Tim Perumus, Muladi membongkar habis pengaruh aturan kolonial Belanda dalam penyusunan RUU KUHP. Karena itu, Muladi berharap betul agar RUU KUHP ini tidak gagal untuk disahkan.

Bahkan Muladi saat itu mengkhawatirkan jika gagal (disahkannya RUU KUHP menjadi UU)maka bangsa Indonesia lebih cinta penjajahan dan suka warisan Kolonial Belanda dalam penegakan hukum. Semasa hidupnya, Muladi juga ketap menyindir Presiden Jokowi soal penundaan pengesahan RUU KUHP ini menjadi UU.

“Kita perlu pergantian filosofi dalam penegakan hukum, sahkan dulu undang-undang ini. Jika nanti ada amandemen terbatas, itu kan rakyat untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Muladi seperti dikutip Fahri Hamzah.

Ketika itu, DPR RI sudah menjadwalkan pengesahan RUU KUHP atau pembicaraan tingkat II di Rapat Paripurna pada 24 September 2019, dan 23 September 2019 untuk pengesahan RUU Pemasyarakatan, karena 30 September 2019 menjadi Rapat Paripurna terakhir DPR RI Periode 2014-2019.

“Jadi RUU KUHP dan RUU Lapas, sudah disetujui pembahasannya di tingkat I, tinggal pembahasan di tingkat II saja, tapi kemudian dibatalkan karena ada tekanan luar biasa. Jadi statusnya tinggal disahkan saja,” katanya.

Menurut Fahri, DPR RI Periode 2019-2024 sebenarnya tinggal mengesahkan saja RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan, tidak dibahas lagi dari awal, karena dua RUU tersebut bersifat carry over atau pengoperan dan bisa langsung masuk agenda Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk dijadwakjan pembahasan pengesahannya.

“Jadi sebenarnya, ini sudah solid, sudah bulat sebenarnya, tinggal disahkan saja. Pengsahan RUU KUHP ini bisa menjadi moment satu bangsa untuk merayakan kesatuannya dalam reformasi hukum, tambahnya..

Sebagai bangsa,, masih menurut Fahri, pertama Indonesia harus memiliki rujukan tunggal terhadap hukum pidananya. Sehingga UU ITE misalnya, bisa diintegrasikan dalam RUU KUHP dan bisa meminamilisir dampak-dampak pemberlakuaan teks-teks atau pasal-pasal karet.

“Mungkin kita juga kita akan melakukan amandemen terbatas terhadap UU Pidana lain dan mengintegraskannya kedalam RUU KUHP. Sehigga UU ini menjadi sempurna dengan melakukanreformasi dari satuan kesatuan teks UU pidana,” katanya.

Yang kedua, selanjutnya yang tak kalah pentingnya adalah reformasi kelembagaan seperi reformasi kelembagaan KPK dengan menertibkan ruang penegakan hukum yang telah diberikan ruang kebebasan dan diduga telah menghalalkan segara cara.

“Dan yang ketiga adalah menciptakan satu kesatuan di para penegak hukum kita, ya polisi, jaksa dan lawyernya. Dan jangan lagi nanti, banyak lawyer perang kita gaya hidup, tidak mengedepankan prinsip keadilan,” ujarnya.

Fahri mempertanyakan kepedulian Presiden Jokowi terhadap pengesahan RUU KUHP, padahal hal itu merupakan bagian dari reformasi penegakan hukum.

“Kalau Pak Jokowi konsen pengesahan Uu Cipta Kerka, harusnya juga harus konsen pengesahan RUU KUHP. KUHP peninggalan kolonial itu, hanya diadopsi negara-negara totaliter yang memberikan kewenangan absolut untuk melakukan penghukuman kepada rakyatnya,” pungkasnya. (Ery)