Nama Soeharto Tak Dicantumkan dalam Keppres 1 Maret, Fahri Hamzah: ‘Jangan Bermain Api, Nanti Terbakar’

by
Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara menuai pro kontra. Kepres yang diteken Presiden Jokowi itu dianggap menghilangkan peran Soeharto (Presiden RI Kedua), sebagai komandan lapangan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, juga menghilangkan peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Di tengah hebohnya Keppres Jokowi tersebut, mantan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah melalui akun twitternya @Fahrihamzah yang dikutip beritabuana.co, Jumat (4/3/2022), meminta agar menghindari hal-hal pahit dalam sejarah.

“Kita harus mulai jujur untuk mengatakan hal-hal yang oleh sejarah diulang secara memilukan. Dan di antara yang memilukan dalam sejarah kita adalah bagaimana pemimpin berakhir dengan tidak baik; dikudeta, diturunkan di tengah jalan, di-demonstrasi, bahkan dihapus namanya dalam sejarah, dll,” tulis Fahri Hamzah.

Menurut Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia ini, semua itu pasti ada sebab-sebabnya yang bisa dipelajari. Maka dari itu, ikhtiar bangsa membangun negara demokrasi yang berdasarkan pada hukum dan konstitusi adalah dalam rangka menghindari hal-hal yang pahit dalam sejarah.

“Itulah yang harus kita pelajari,” kata Fahri sembari menambahkan, tidak perlu berbicara jauh ke masa-masa pra kemerdekaan, tentang pemimpin kerajaan-kerajaan daerah yang memang sistemnya memungkinkan ketidakpastian jadwal suksesi terjadi, sehingga kekuasaan kadang harus sering berakhir dengan kudeta berdarah dan penakluk keluar sebagai pemimpin negara.

Tetapi, lanjut Fahri, yang perlu dibicarakan sekarang adalah tradisi pasca republik. “Mudah kita analisa karena jumlah presiden yang kita miliki belumlah terlalu banyak. Tetapi, Presiden yang kita miliki dan tidak terlalu banyak tersebut pun hampir semua harus berakhir secara tragis dan memilukan,” jelasnya lagi.

Maka pelajaran ini harus diingat, masih menurut politisi asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini adalah citra presiden harus dijaga sepanjang sejarah masa depan, termasuk Presiden Jokowi supaya berakhir dengan baik.

“Saya bukan pemilih dan pendukung beliau (Jokowi), tapi saya tidak mau ada lagi ada presiden yang berakhir dengan cidera,” beber Fahri.

Dikatakan Fahri, cara berakhirnya seorang presiden sangat menentukan perjalanan bangsa ke depan. Seorang presiden yang berakhir karena dikudeta biasanya menciptakan kudeta selanjutnya. Setiap presiden yang berakhir pilu, menciptakan dendam bagi generasi pendukungnya di masa selanjutnya.

“Sesungguhnya ini bukan kata saya, ini adalah pelajaran dari sejarah umat manusia tidak saja di Indonesia tapi di mana-mana. Dan kita bersyukur sekarang Indonesia telah menjadi negara yang memiliki jadwal politik yang pasti tidak ada misteri tentang jadwal seorang presiden diganti,” katanya.

Dalam demokrasi jadwal pergantian pimpinan adalah ritual yang pasti karena demokrasi tidak percaya lagi bahwa ada orang yang tak tergantikan. Bahkan dalam demokrasi, semua pemimpin atau seluruh orang dianggap sama karena yang penting adalah sistemnya, bukan orangnya.

“Tidak boleh lagi ada yang mendewakan pemimpin. Presiden adalah manusia biasa. Lagi pula. mengganti pemimpin bukan bencana dan KPU bersama DPR telah menyepakati Pemilu dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Jadi, stop permainan ini, jangan coba-coba mencoreng wajah Ibu Pertiwi dengan permainan konyol ini,” tegasnya.

Karena itu,mengimbau seluruh elemen bangas agar jangan merusak apa yang sudah diperjuangkan dengan susah payah, mestinya harus dijaga setiap hari.

“Jangan bermain api nanti terbakar sendiri. Sejarah pemimpin kita penuh onak dan duri,” tandas Fahri Hamzah. (Jal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *