BERITABUANA.CO, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus mensosialisasikan Hari Ibu sebagai peringatan tentang perjuangan pergerakan perempuan Indonesia, yang maknanya jauh lebih besar daripada penghormatan terima kasih pada sosok Ibu dalam keluarga. Perempuan apapun profesinya adalah pejuang tangguh bagi keluarga, masyarakat dan negara.
Penegasan ini disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga saat membuka webinar khusus bertema ‘Refleksi Kongres Perempuan Indonesia’, Kamis (23/12/2021) dalam rangkaian peringatan Hari Ibu ke-93.
Diskusi ini terselenggara atas kerja sama Kemen PPPA dengan Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPP RI) dan aktivis perempuan yang tergabung dalam Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI).
Menteri Bintang mengatakan, peringatan Hari Ibu di Indonesia merupakan peringatan terhadap terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama tahun 1928. Peringatan juga merupakan upaya meluruskan pengertian ini harus terus menerus dilakukan, karena di masyarakat terlanjur berkembang pengertian yang salah, bahwa Hari Ibu tanggal 22 Desember adalah hari bagi orang tua perempuan.
“Melihat kembali upaya para perempuan Indonesia sejak kongres pertama, maka kita harus semakin bekerja keras mengatasi masalah ketertinggalan perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta perkawinan anak,” ujarnya.
Walaupun dari partai politik (parpol) yang berbeda-beda, lanjut Menteri Bintang, perempuan Indonesia harus bersatu dan bergotong-royong mengatasi masalah tersebut.
“Saya berharap dengan kehadiran para politisi perempuan dan duduk di parlemen, dapat ikut memberikan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi perempuan saat ini,” pungkasnya.
Gerakan Feminimisme
Kesempatan sama, Ketua Presidium KPPI Kanti W Janis mengakui jika berbicara tentang gerakan feminisme di Indonesia, akan banyak penolakan hingga pencibiran. Penolakan itu muncul karena banyak orang berprasangka bahwa feminis menolak kodrat perempuan, ini soal perempuan ingin mendominasi pria, dan tuduhan lain yang tak berujung.
“Saya pastikan mereka yang berpendapat demikian adalah orang-orang yang belum paham apa itu feminisme dan apa itu kesetaraan. Feminisme bukan monopoli kaum perempuan, seorang feminis tidak berjenis kelamin. Sama seperti ketika seseorang menyebut dirinya sebagai seorang nasionalis,” terangnya.
Feminisme, menurut politisi perempuan dari PDI Perjuangan ini, adalah sebuah paham yang memperjuangkan kesetaraan gender, paham untuk melawan patriarki. Karena itu, bicara feminisme perlu kehati-hatian, perlu melihat hadirin yang dihadapi, perlu memperhalus kata dan sebagainya. Bagaimana mau bicara tentang kepemimpinan perempuan, ketika hal mendasar saja masih ditolak, masih banyak kesalahpahaman?
“Bagi saya muara masalah terletak pada ingatan kolektif bangsa. Sebenarnya soal emansipasi perempuan di tanah air sudah jauh lebih maju dari Barat. Karena itu kata feminis tidak pernah lahir di nusantara. Sejak awal kita sudah setara, bahwa tidak ada perbedaan berarti dalam peran laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin,” katanya.
Namun di luar mispersepsi seputar feminisme dan Hari Ibu, Kanti menekankan bahwa pada akhirnya perjuangan kesetaraan nasib perempuan adalah soal membela kemanusiaan. Karenanya, tidak usah berdebat soal istilah, tetapi bagaiama melihat pada kenyataan para perempuan di Indonesia masih mengalami diskriminasi dan berbagai kekerasan.
“Saya berharap ketika kita bicara tentang kesetaraan gender, pakailah ingatan bangsa kita sendiri lebih banyak. Ketika bicara tentang kesetaraan perempuan kita sebenarnya sedang membicarakan kisah-kisah nenek moyang. Mereka para pendahulu kita yang patut kita hormati perjuangan dan meneruskannya,” kata Kanti menekankan. (Asim)





