Indonesia Akhiri Kerja Sama REDD+ dengan Norwegia, Teddy Yamin: Keputusan yang Sangat Tepat

by
Direktur Eksekutif Cikini Studi, Teddy Mihelde Yamin.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Analis dari Cikini Studi, Teddy Mihelde Yamin menilai, keputusan pemerintah Indonesia mengakhiri kerja sama REDD+ dengan Norwegia, disebabkan tidak kuatnya komitmen negara maju dalam menjaga kelestarian bumi, dinilai sudah sanga tepat.

“Negara maju hanya sekedar menjual isu lingkungan, isu demokrasi tetapi ujungnya untuk kepentingan bisnis. Pada hal di dalam bisnis komitmen menjadi sangat penting,” kata Teddy Yamin dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/9/2021).

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengakhiri Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia tentang Kerja Sama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+), terhitung mulai tanggal 10 September 2021 lalu.

Hal tersebut disampaikan melalui Nota Diplomatik, sesuai ketentuan Pasal XIII LoI REDD+, kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta. Keputusan Pemerintah Indonesia itu diambil melalui proses konsultasi intensif dan mempertimbangkan tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia.

Melanjutkan pernyataannya, Teddy yang juga pelaku pasar modal ini memprediksi kalau sebenarnya dari awal sudah bisa diduga Indonesia pada akhirnya mengakhiri kerjasama dengan Norwegia, mengingat salah satu pihak yang seolah mengabaikan isi kesepakatan yang dibuat.

“Isu tidak serius dalam mengelola lingkungan menjadi yang dikedepankan, akan tetapi komitmen untuk menangani isu itu tidak kuat. Pengurangan emisi baik akan tetapi mewujudkan komitmen harus lebih baik lagi,” ujarnya lagi.

Padalah, menurut Direktur Eksekutif Cikini Studi ini, Indonesia sudah berupaya memenuhi capaian untuk laju deforestrasi terendah selama 20 tahun yang dicapai dalam tahun 2020 dan penurunan luasan kebakaran hutan di Indonesia, akan tetapi mengapa Norwegia tidak mewujudkan berkomitmen mentransfer kontribusi pengurangan emisi yang selama ini dilakukan Indonesia.

“Untuk itu, saya kira sudah tepat keputusan yang diambil Indonesia karena berdasarkan proses konsultasi intensif dan mempertimbangkan tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran Result Based Payment (RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada tahun 2016/2017 yang telah diverifikasi oleh lembaga internasional,” bebernya.

Teddy menyayangkan pemerintah Norwegia karena Indonesia sudah melakukan kewajibannya dan diverifikasi oleh pemerintah Norwegia sendiri. Kemudian hasil verifikasinya menunjukkan Indonesia berhasil mengurangi emisi gas ruang kaca pada 2016-2017 setara dengan 11,2 juta karbon dioksida (CO2). Harusnya Indonesia berhak mendapat pembayaran US$ 56 juta akan tetapi Norwegia ingkar janji.

“Nah, ini pengingkaran namanya. Kalau alasannya dicari-cari dengan alasan pendemi Covid-19, kalau soal pandemi Covid-19 pasti semua negara terganggu perekonomiannya,” kata Teddy kesal dan katanya hal seperti ini membuktikan tidak kuatnya komitmen negara maju dalam menjaga kelestarian bumi. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *