Kobu, dan Makna Pertemuan Sukarno-Marhaen

by
Lukisan Sukarno dan petani Marhaen.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Jakobus Kamarlo Mayong Padang atau biasa dipanggil Kobu, adalah seorang Sukarnois atau pengagum Sang Proklamator. Kekagumannya pada sosok Sukarno terutama karena kegigihannya memperjuangkan Indonesia merdeka sejak muda sekaligus perhatiannya yang luar biasa pada masyarakat bawah. Hingga saat ini, Kobu tak berubah. Ia terus mengidolakan sosok Sukarno.

Salah satu peristiwa penting dalam perjalanan hidup Sukarno yang masih membekas dan monumental dalam diri Kobu adalah pertemuan Sukarno dengan seorang petani di tengah sawah bernama Marhaen atau mang Aen di Cigerelang, Bandung, Jawa Barat pada 1 Oktober 1923.

Kobu mengatakan, pertemuan Sukarno muda dengan si mang Aen itu adalah peristiwa yang amat penting, tidak saja untuk kelompok masyarakat tertentu, tapi penting bagi bangsa Indonesia. Ia menafsirkan, justru pada saat itu lah awal dari kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai.

“Begitu dalam makna pertemuan Sukarno dengan Marhaen. Ini sesungguhnya mengandung ribuan makna yang jika dikaji dan diurai sungguh luar biasa,” tutur Kobu dalam perbicangan dengan beritabuana.co, Minggu (4/4/2021).

Karena itu, Kobu yang pernah menjadi pengurus DPP dan anggota DPR RI dari PDI Perjuangan ini mengaku sedih. Ia menyayangkan karena ada yang mengabaikan, melupakan hingga cuek atas peristiwa tersebut. “Kemerdekaan bangsa Indonesia berawal dari sini,”.

Kobu kembali menekankan makna pertemuan Sukarno dengan Marhaen. Kobu menarasikan peristiwa kedua anak manusia itu dengan kalimat “mencari yang hilang”.

Dikisahkan, bahwa sejarah berdirinya Negara Republik Indonesia teramat panjang. Begitu banyak rute yang dilewati, serta titik-titik gerak yang dilewati. Ada yang terpelihara bahkan disakralkan. Namun ada sejumlah yang terlupakan dan diabaikan, bahkan hilang. Nah, satu di antara peristiwa penting itu adalah pertemuan Bung Karno-Marhaen.

Menurut Kobu, bangsa Indonesia selalu memperingati 17 Agustus 1945 secara meriah. Itu penting karena itulah hari kemerdekaan kita. Tetapi itu deklarasi, pengumuman lahirnya negara Indonesia secara hukum.

Namun, tak banyak yang paham secara spirit, Indonesia lahir saat Sukarno berdialog dengan Marhaen petani di Cigereleng Bandung Selatan. Kobu mendiskripsikan, dialog dua anak manusia di bawah terik matahari ketika itu menyadarkan Sukarno sebagai kaum terpelajar, betapa menderitanya kaumnya.

Sukarno tidak tahan menyaksikan tubuh Marhaen yang bermandi peluh dan tidak tahan mendengar penuturannya tentang kehidupannya bersama keluarganya. Karenanya, saat itu juga, Sukarno memutuskan Indonesia harus dimerdekakan agar kaumnya yang hidup menderita bisa sejahtera.

Kobu juga mengatakan, banyak rute-rute dan titik perjalanan bangsa yang terpelihara tetapi banyak yang hilang atau terabaikan karena berbagai faktor termasuk faktor politik. Faktor politik sangat dominan memberangus hal-hal yang berkaitan dengan Soekarno saat Orde Baru berkuasa. DeSoekarnoisasi istilahnya, sangat kuat, bahkan kejam saat itu.

“Karena itu jangan heran jika peristiwa Cigereleng tenggelam, padahal di sini di tengah sawah ini, titik 0 (nol) Kilometer perjuangan kemerdekaan dimulai. Aneh koq sampai dihilangkan? Yah itulah kenyataan yang menyedihkan,” tutur Kobu.

Sebetulnya, secara panjang lebar Kobu bisa menguraikan arti atau makna peristiwa Cigerelang. Tetapi menurut dia, roh dari pertemuan itu berinti bahwa pada perjumpaan Sukarno dengan Marhaen di tengah sawah itulah kebangkitan semangat dan memutuskan memulai perjuangan kemerdekaan.

Buktinya apa ? Menurut Kobu seperti yang terlihat di pengadilan Landraad, Bandung, saat Sukarno dan 3 rekannya diadili tahun 1930, disana dia membacakan pembelaannya dengan judul Indonesia Menggugat. Mereka diadili karena dituduh hendak menggulingkan kekuasaan Hindia-Belanda.

“Pembelaan Bung Karno dan kawan-kawan di pengadilan Bandung selalu menyebut kondisi kehidupan Marhaen. Marhaen yang ditemuinya telah menjadi inspirasi, simbol dan motivator yang kuat untuk perjuangan kemerdekaan. Masih banyak makna lain kalau diurai,” jelas Kobu.

Karenanya Kobu berpendapat sangat layak jika di Cigerelang ada sebuah “penanda”, sebuah tugu peringatan yang bisa disaksikan oleh generasi bangsa. Apalagi di sawah yang dulu Sukarno bertemu dengan Mang Aen itu kini sudah berubah drastis, bukan lagi petak-petak sawah, tetapi sudah berdiri bangunan gedung kantor dan rumah.

“Tak ada yang tersisa sekalipun, pada hal kita selalu bangga mengutip pesan Bung Karno Jas Merah, nyatanya banyak titik dan rute perjuangan telah hilang,” ujar Kobu yang sudah berkali-kali ke Bandung untuk membentuk sebuah wadah bernama Bandung Bersejarah dan Institut Marhaen.

Ia dan segelintir kawannya pencari jejak sejarah yang hilang mendirikan wadah tersebut dengan misi mencari, mencerna dan mensosialisasikan makna-makna dari temuan-temuan termasuk peristiwa Cigereleng.

Untuk sebuah refleksi, Bandung Bersejarah dan Institut Marhaen merencanakan mengadakan peringatan peristiwa Cigerelang setiap tahun. Tahun 2019 pertama kali diadakan peringatan dengan sederhana di Gedung Indonesia Merdeka, Bandung. Seharusnya acara yang sama hendak diadakan tahun 2020, tetapi batal karena pandemi Covid-19.

Menurut Kobu, selain mengadakan acara peringatan, Bandung Bersejarah dan Institut Marhaen sudah membuat sebuah lukisan. Tujuannya, agar ada visualisasi pertemuan Sukarno muda dengan Marhaen. Kobu mengaku begitu bahagia karena perburuannya selama bertahun untuk mengkanvaskan peristiwa yang sangat penting; pertemuan Bung Karno-Marhaen di tengah sawah akhirnya terkabul.

“Perburuan saya untuk mendapatkan lukisan tersebut layaknya orang dahaga. Bertahun saya mengidamkannya, sejumlah pelukis saya minta melukisnya. Saya tidak berhenti, terus dan terus mencari siapa gerangan pelukis yang bisa memenuhi kerinduan yang terus menggebu,” katanya.

Tanpa putus asa, Kobu menyatakan terus berupaya karena bagi dia, pertemuan di tengah sawah itu sangat penting. Sehingga, jangan sampai diabaikan, dilupakan hingga dicueki orang.
Perburuannya membuahkan hasil, setelah Nunik Silalahi, seorang dosen di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya tahun lalu menghubungkannya dengan seorang pelukis bernama Pandji.

Lukisan itu sendiri bisa selesai dengan proses yang unik. Dari Jakarta, Kobu membuat konsep atau abstraksi seperti apa pertemuan Sukarno dengan Marhaen di tengah sawah. Lalu dikirim lewat WA ke dosen Untag Surabaya tadi untuk selanjutnya diteruskan ke pelukis Pandji dan membuat skestanya. Lukisan yang sudah dibuat kembali di kirim ke Kobu untuk diperiksa.
Sesekali contoh lukisan dikoreksi nya dan kemudian di kirim kembali ke Surabaya. Begitulah berulang-ulang selama berbulan-bulan, hingga Kobu dan dosen serta Pandji setuju dengan skesta lukisan yang diinginkan.

Kobu mengaku begitu bahagia karena lukisan sudah selesai. Dan lebih bahagia lagi, lukisan pertemuan Sukarno dengan Marhaen akan diresmikan pada hari Selasa (6/4/2021) nanti di kampus Untag Surabaya. Walikota Surabaya Ery Cahyadi yang akan meresmikan dan disertai dengan tumpengan.

“Bahagia sekali, bahagia menemukan jejak-jejak sejarah bangsa yang hilang, tercecer atau terabaikan,” kata Kobu.

Kebahagiannya lagi, karena dengan lukisan yang ada, Kobu bisa berkisah tentang pentingnya pertemuan Sukarno dengan Marhaen bagi bangsa Indonesia.

“Dengan lukisan yang sudah rampung dan diresmikan, seperti kita menemukan kembali jejak sejarah yang hilang, yang berwujud sebuah lukisan,” ucap Kobu. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *