In Memoriam: Pengibar Bendera Pro Mega Itu, Telah Dipanggil Sang Khalik

by
Almarhum Imam Mundjiat.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P), H. Imam Mundjiat meninggal dunia di kediamannya, di Pontianak, Kalimantan Timur, pada Senin (10/8/2020) pagi tadi. Imam Mundjiat dipanggil Sang Khalik pada usia 72 tahun.

Semasa hidupnya, almarhum pernah duduk sebagai Ketua DPD PDI P Kaltim dan Ketua DPP PDI P serta menjadi anggota DPR RI.

“Beliau sakit, sakitnya komplikasi, berkomunikasi pun sudah tidak bisa, karena belakangan pita suaranya sudah tak bisa berfungsi,” kata mantan Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Timur, Dody Rondonuwu yang dihubungi beritabuana.co.

Mantan Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan Jakobus K Mayong Padang terkejut mendengar kepergian koleganya tersebut. Semasa DPP PDI dilanda konflik internal pada tahun 1996, Imam Mundjiat di Kaltim dan Jakobus di Sulsel sebagai pengurus PDI, memilih berada di belakang Megawati Soekarnoputri dan tetap mengakui sebagai Ketua Umum DPP PDI yang sah.

“Lebih separuh usianya ia habiskan mengurus partai , dan 90 persen waktunya di partai ia lalui dalam kesulitan karena mengurus partai yang sedang dilanda kemelut,” kata pria yang disapa Kobu ini.

Kobu mengenang pengalaman pahit pada saat dia dan yang lain berjuang mendukung kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Pendukung Megawati di daerah terus bertahan meski dalam keadaan sulit, tetap bertahan dibawah tekanan yang begitu besar, termasuk tekanan dari aparat militer

“Hari ini, Imam Mundjiat, yang berani bertahan sendirian menjaga tegaknya bendera partai pimpinan Mega di Kaltim telah menghadap sang Ilahi. Semoga beliau diterima di sisih-NYA dan anak-anaknya, cucu beliau serta rumpun keluarga mendapat kekuatan dan penghiburan dan dilapangkan jalan hidupnya,” ujar Kobu dalam nada sedih.

Pendiri Institut Marhaen ini terkesan dan tak bisa melupakan sosok Imam Mundjiat, karena pada saat berjuang membela dan mendukung Megawati Soekarnoputri, masih bisa membuat yang lain tertawa sehingga suasana menjadi rileks.

Setelah peristiwa 27 Juli 1996, PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri sudah tidak diakui oleh pemerintah, karena yang diakui adalah Soerjadi – Buttu Hutapea, produk kongres di Medan. Namun, bukan berarti keberadaan mereka lenyap dari panggung politik, tetapi justru sebaliknya, konsolidasi terus menerus dilakukan. Di tahun 1996 itu, PDI Pro Megawati menggelar rapat kerja nasional (rakernas) di kawasan Condet, Jakarta Timur. Sudah jelas, peserta rakernas hanya mereka yang setia kepada Megawati.

Kobu bercerita, saat itu terjadi gelombang eksodus besar-besaran, atau pengurus PDI di daerah lebih memilih ikut Kongres di Medan.
Jika ditotal, 95 persen pengurus dari tingkat DPP sampai ranting kabur ke PDI pimpinan Soeryadi – Butut Hutapea. Kobu berpendapat, prosentase ketidakkonsistenan itu menjadi piramida terbalik.

“Maksudnya yang lari itu pada tingkat PAC dan Ranting lebih kecil dibanding DPC, DPD dan DPP jauh lebih besar,” kata Kobu.

Dalam kondisi yang amat sulit itulah, tambah dia, rakernas berlangsung untuk konsolidasi, meski berlangsung hanya sebentar dan buru-buru ditutup.

Kobu bercerita lagi, dalam rakernas semua DPD melaporkan keadaan di wilayah masing-masing termasuk jumlah pengurus yang masih tersisa. Hasilnya? Tidak satu pun DPD yang personil lebih 10 orang. Itu pun sebagian yang masih tersisa tidak aktif. Istilahnya lihat-lihat keadaan, mana yang menguntungkan.

“Nah, ketika giliran Kaltim menyampaikan laporan, dengan lantang Imam Munjiat melaporkan jumlah pengurus DPD yang tersisa satu setengah. Sontak saja suasana rakernas yang tegang menjadi gerrrr. Spontan beberapa orang menyelutuk, mana ada orang setengah?” kenangnya.

Namun, setelah Imam Munjiat menjelaskan maksudnya, satu setengah karena teman yang satu kadang ke sini (Megawati) kadang ke sana(kongres).

“Jadi, saya terpaksa menghitungnya setengah” jelas Imam terkekeh-kekeh, seperti di kenang Kobu. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *