BERITABUANA.CO, JAKARTA – Konsultan keuangan Asep Dahlan menilai penerapan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menjadi hambatan utama bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk mendapatkan akses kredit dari perbankan. Ia menegaskan bahwa sejumlah bank terlalu bergantung pada catatan SLIK tanpa melihat kondisi riil usaha, sehingga banyak UMKM tersaring sebelum proses pengajuan kredit berjalan.
Asep menyebutkan, praktik “penilaian kaku” perbankan terhadap histori kredit UMKM menyebabkan pelaku usaha yang sebenarnya sehat secara bisnis tidak lolos dalam tahap awal verifikasi SLIK.
“SLIK seharusnya menjadi alat bantu, bukan alat pemutus. Banyak UMKM yang sebenarnya mampu membayar, tetapi tersendat karena kesalahan administrasi kecil atau jejak kredit lama yang tidak relevan lagi,” ujar Asep kepada wartawan di Jakarta, Ahad (16/11/2025) mendukung DPR RI menegur perbaikan mempersulit akses pembiayaan UMKM.
Menurutnya, sejumlah masalah administratif seperti keterlambatan bayar cicilan di masa pandemi, tunggakan kecil pada layanan telekomunikasi, atau pencatatan yang belum diperbarui justru sering menjadi alasan UMKM tidak lolos verifikasi awal bank.
Asep menilai pola penilaian seperti itu tidak selaras dengan agenda pemerintah mendorong pembiayaan inklusif dan perluasan akses pendanaan bagi UMKM. Apalagi sektor UMKM masih menjadi penopang utama ekonomi nasional dengan kontribusi lebih dari 60% terhadap PDB.
“Bank harus menilai UMKM secara lebih holistik. Risiko tentu harus dihitung, tetapi tidak bisa semata melihat warna SLIK. Banyak pelaku usaha yang tumbuh cepat dan butuh modal kerja, tetapi tertahan hanya karena data historis yang kurang presisi,” tegasnya.
Ia mendorong OJK melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pemutakhiran data, termasuk percepatan pembaruan informasi kredit dan penyederhanaan proses keberatan (dispute) bagi debitur yang merasa memiliki catatan keliru.
Selain itu, Asep berharap perbankan mulai menerapkan metode credit scoring alternatif berbasis data transaksi digital, arus kas usaha, hingga rekam jejak penjualan yang bisa menunjukkan kemampuan bayar UMKM secara lebih akurat.
“Kita punya banyak data ekonomi digital. Jangan sampai akses modal UMKM terhambat hanya karena sistem yang tidak mengikuti perkembangan zaman,” kata Asep.
Ia menambahkan, memperbaiki akses pembiayaan bukan hanya kepentingan UMKM, tetapi berkaitan langsung dengan daya tahan ekonomi Indonesia, terutama menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
Sebelumya, anggota Komisi XK DPR RI dari Fraksi PAN, Andi Yuliani Paris menegur bank dan lembaga keuangan nonbank, yang dinilai masih mempersulit akses kredit bagi pelaku UMKM, terutama pinjaman di bawah Rp10 juta. Ia menyebut praktik yang mengacu ketat pada SLIK, serta permintaan agunan, bertentangan dengan upaya pemerintah memperluas pembiayaan mikro.
“Perbankan ini masih banyak meminta jaminan. Kalau misalnya di bawah 10 juta saja, ya tidak perlulah ada jaminan. UMKM kita yang kecil-kecil ini kadang hanya perlu 5 juta, 10 juta, tapi masih juga diperiksa SLIK-nya, masih diminta jaminan,” ujar Andi Yuliani. (Ery)





