BERITABUANA.CO, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Rudianto Lallo, menegaskan pentingnya percepatan reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) agar lembaga tersebut benar-benar menjadi institusi yang melindungi masyarakat, bukan alat kekuasaan politik.
Dalam forum diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Reformasi Polri Harapan Menuju Institusi Penegakan Hukum yang Profesional dan Humanis”, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025)i, Rudianto menilai bahwa komposisi tim reformasi Polri yang baru dilantik Presiden belum menunjukkan perubahan signifikan.
“Kalau melihat nama-nama yang ada, tidak ada hal baru, tidak ada yang istimewa. Mereka adalah tokoh-tokoh lama, bahkan beberapa di antaranya pernah menjadi menteri atau ketua Kompolnas,” ujar Rudianto.
Menurutnya, kehadiran tim percepatan reformasi seharusnya menjadi momentum untuk membenahi struktur dan kultur Polri secara menyeluruh, bukan sekadar rotasi jabatan atau pembentukan tim seremonial.
“Kita ingin reformasi yang benar-benar substantif, bukan kosmetik. Polri harus kembali pada mandat konstitusi: melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat,” tegasnya.
Rudianto mengingatkan bahwa pasca berbagai kasus yang mencoreng citra Polri dalam beberapa tahun terakhir, publik berharap adanya koreksi besar-besaran di semua level institusi penegak hukum. Ia menilai, masih banyak persoalan mendasar seperti penyalahgunaan kewenangan, lambannya proses hukum, dan minimnya kepastian hukum yang harus segera dibenahi.
“Banyak laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti. Ada kasus yang berlarut-larut tanpa kejelasan. Ini menandakan masih lemahnya mekanisme pengawasan internal dan akuntabilitas Polri,” kata legislator asal Makassar itu.
Perkuat Posisi Kelembagaan
Selain pembenahan struktural dan prosedural, Rudianto menekankan pentingnya memperkuat posisi kelembagaan Polri dalam sistem demokrasi agar tidak mudah ditarik ke dalam kepentingan politik tertentu.
“Polri harus menjadi alat negara, bukan alat kekuasaan. Jangan sampai digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa secara konstitusional, Polri tetap berada di bawah Presiden, bukan di bawah kementerian mana pun. “Konstitusi sudah jelas, Polri berada di bawah Presiden. Jangan lagi ada wacana menempatkan Polri di bawah kementerian. Itu justru mundur dari semangat reformasi,” tegasnya.
Hadirkan Polisi Profesionsl
Pembicara diskusi lainnya, juga anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, menegaskan pentingnya reformasi kepolisian sebagai agenda strategis bangsa. Ia menilai langkah Presiden Prabowo Subianto, membentuk Komite Percepatan Reformasi Kepolisian menjadi momentum untuk menghadirkan institusi Polri yang profesional, jujur, dan humanis.
“Reformasi kepolisian itu agenda strategis bangsa ini karena terkait dengan keadilan, keamanan publik, dan demokrasi,” ujar Nasir Djamil
Keberhasilan reformasi Polri, ungkap Nasir, akan berdampak langsung pada rasa keadilan yang dirasakan masyarakat serta kualitas demokrasi di Indonesia. Ia menyinggung insiden ledakan di salah satu SMA di Jakarta, sebagai contoh lemahnya pengawasan keamanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama.
“Peristiwa itu menunjukkan masih ada sisi yang luput diawasi. Karena itu, reformasi Polri diharapkan bisa menghadirkan polisi yang dipercaya dan dicintai masyarakat,” tambahnya.
Nasir menyebut, profesionalisme polisi menjadi kunci utama dalam mewujudkan keadilan dan keamanan. Ia menekankan pentingnya penyidikan dan penyelidikan yang berbasis ilmu pengetahuan serta dilakukan secara transparan dan akuntabel.
“Profesional artinya bekerja dengan ilmu dan metode yang saintifik. Penyelidikan harus bermutu, objektif, dan transparan,” kata Nasir.
Ia juga mengapresiasi berbagai slogan dan visi yang pernah diusung pimpinan Polri sebelumnya, mulai dari Promoter (Profesional, Modern, Terpercaya) hingga Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan). Namun, menurutnya, tagline semata tidak cukup tanpa perubahan nyata di lapangan.
“Yang dibutuhkan adalah konsistensi. Reformasi bukan soal semboyan, tapi soal praktik nyata yang dirasakan masyarakat,” ujarnya. (Tim)





