BERITABUANA.CO, JAKARTA – Dalam beberapa bulan terakhir, istilah “joki galbay” atau joki gagal bayar pinjaman online (pinjol) mendadak populer di media sosial. Jasa ini ditawarkan oleh individu yang mengklaim bisa bantu debitur untuk gagal bayar tanpa ada sebar data, dan mengutamakan bayar aplikasi legal ketimbang ilegal.
Di tengah narasi negatif yang berkembang, Asep Dahlan, seorang konsultan keuangan independen di sektor perbankan dan fintech, hadir dengan pandangan yang lebih kontra-arus. Ia menyebut fenomena joki galbay sebagai cerminan dari ketimpangan sistem keuangan digital di Indonesia.
“Mereka yang menyalahkan joki galbay sebagai kriminal semata sedang melihat masalah ini secara dangkal. Ini bukan soal moral individu saja, ini juga soal kegagalan regulasi dan lemahnya proteksi konsumen,” kata Asep Dahlan kepada wartawan di Jakarta, Jumat (13/6/2025).
Menurut dia, sebagian besar pengguna jasa joki galbay adalah masyarakat kelas menengah bawah yang terlilit utang karena ketidaktahuan, desakan ekonomi, serta struktur bunga pinjol yang dinilainya “tidak manusiawi”. Dalam banyak kasus, utang pokok yang hanya ratusan ribu rupiah bisa membengkak hingga jutaan dalam hitungan minggu karena bunga harian dan biaya keterlambatan yang tinggi.
“Banyak dari mereka bahkan tidak tahu berapa total kewajiban mereka. Syarat dan ketentuan kadang tidak dijelaskan secara rinci, dan masyarakat kita belum siap dengan literasi digital sekompleks itu,” jelas Kang Dahlan, sapaan akrab pendiri Dahlan Consultant tersebut
Ia menambahkan, joki galbay sebetulnya muncul sebagai reaksi terhadap situasi yang dirasa tak adil oleh para debitur. Joki menjanjikan solusi cepat: identitas peminjam “diamankan”, serta bantu penguatan mental untuk mereka yang kena teror dan intimidasi dari pinjol ilegal.
Meski metode ini problematik dan kadang manipulatif, Asep Dahlan mengingatkan bahwa praktik ini tidak muncul dari ruang hampa. “Selalu ada penyebab ekonomi dan struktural di balik perilaku keuangan masyarakat. Kita tidak bisa hanya fokus menghukum tanpa melihat apa yang mendorong mereka ke sudut seperti ini,” ujarnya.
Antara Regulasi dan Ketimpangan
Asep Dahlan juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap industri pinjaman online, terutama yang bersifat peer-to-peer lending. Ia menyebut bahwa meskipun OJK telah menertibkan banyak pinjol ilegal, masih banyak entitas serupa yang beroperasi dengan “topeng legalitas” tetapi tetap menggunakan praktik penagihan yang kasar, intimidatif, dan tidak manusiawi.
“Kalau bunga pinjol bisa setara 200% dalam setahun, itu bukan inklusi keuangan, itu pemiskinan sistemik. Siapa yang melindungi rakyat kecil dari eksploitasi seperti ini?” tanyanya retoris.
Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah dan otoritas keuangan melakukan pendekatan dua arah, yakni menindak tegas pelaku kejahatan digital sekaligus memperbaiki sistem pinjol agar lebih adil, transparan, dan mendidik.
“Yang harus dibasmi bukan hanya jokinya, tapi juga ekosistem pinjol yang tidak etis. Literasi keuangan perlu masuk ke sekolah-sekolah, dan platform pinjol harus diwajibkan punya mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan manusiawi,” tegasnya.
Menimbang Etika dan Solusi
Meski mengkritik sistem, Asep Dahlan tetap tidak melegalkan praktik joki galbay. Ia menegaskan bahwa ada risiko kriminal, baik bagi pelaku maupun pengguna jasa. Namun, ia mengajak publik untuk tidak memandang fenomena ini sebagai kasus tunggal penipuan, melainkan sebagai sinyal darurat atas situasi ekonomi mikro di Indonesia.
Ia juga menyerukan agar para pembuat kebijakan melihat masalah ini dari lensa keadilan sosial dan ekonomi. “Ekonomi yang tidak adil akan selalu melahirkan bentuk-bentuk perlawanan yang tak konvensional. Dalam hal ini, joki galbay adalah bentuk ‘survival’ di tengah tekanan ekonomi dan digitalisasi keuangan yang tidak ramah pada kaum rentan,” pungkas Asep Dahlan. (Ery)