“SINGKIRKAN bahaya, dan lepaskan pengekangan, dan alam yang bandel akan bebas”. (Horatius, Penyair Romawi Kuno: 65:SM-8 SM).
Ketika pemimpin tertinggi China, Mao Zedong “gerah”, dengan sikap moderat kompatriotnya, Deng Xiaoping, Mao menyingkirkannya.
Deng Xiaoping dikecam Mao sebagai orang kedua pendukung kapitalisme, di samping Presiden Liu Shaoqi (orang pertama). Penyingkiran keduanya, disebut Mao sebagai, ‘Revolusi Kebudayaan’.
Bagi Mao, Deng dan Liu berbahaya. Mencoba beralih ke kapitalisme, merupakan hal yang sangat tabu bagi konsep pendirian China lewat “Long March 1949”.
Berbeda nasib Deng Xiaoping dan Liu Shaoqi yang diasingkan dan dipenjara. Suksesor yang disiapkan Mao, Lin Biao tewas dalam pelarian setelah gagal dalam upaya membunuh Mao Zedong (1971).
Spekulasi muncul. Ada yan mengatakan, pesawat yang ditumpangi Lin Biao jatuh kehabisan bahan bakar saat pelarian.
Namun, ada yang skeptis, sebenarnya Lin Biao tidak pergi, tetapi dia disingkirkan karena dianggap terlalu kuat dan mengancam posisi Ketua Partai, Mao Zedong.
Politik ‘lateral’ memang seperti itu. Ketika Ketua Mao berpulang (1976), Mao yang tidak menginginkan Deng Xiaoping, menyiapkan Huo Guofeng. Huo adalah ‘suksesor’ yang diinginkannya.
Huo Guofeng yang pragmatis, dan mengajak (mengampuni) Deng Xiaoping, harus menerima pil pahit. Deng kemudian menyingkirkan Huo Guofeng, lalu mencopotnya dari Ketua Partai Komunis China.
Menyingkirkan lawan politik, menyingkirkan teman politik dan kompatriot, dalam satu pemerintahan, itu biasa terjadi. Pada negara yang kental bergantung pada pola ‘patron-client’. Probabilitasnya, sangat rawan. Saling mempengaruhi.
Ketika “teman seiring” (koalisi) tidak menemukan titik temu, atau mengalami kebuntuan dalam pengambilan kebijakan, maka menyingkirkan “teman politik”, akan terjadi.
Mao Zedong, Lin Biao, Zhou Enlai, Deng Xiaoping, Liu Shaoqi, merupakan teman seiring saat berjuang menyingkirkan tokoh nasionalis China (Chiang Kai Shek). Perjuangan yang disebut “Long March 1949”, membuat Chiang Kai Shek lari dan tersingkir ke Pulau Formosa (Taiwan).
Men-tamsilk-kan dengan yang lain, apa yang terjadi antara, Mao Zedong-Lin Biao-Deng Xiaoping, tiga tokoh utama terbentuknya China saat ini. Bisa terjadi di mana pun.
Dunia yang berkelompok dalam ‘in group’ dan ‘out group’, atau katakanlah berpola ‘patron-client’, dapat mempengaruhi penyingkiran, atau lebih fatalistik disebut pembunuhan politik.
Ketika kepentingan yang berpola ‘patron-client’ tadi terganggu, baik secara ekonomi atau politik, maka tindakan ‘lateral’ dapat terjadi. Menyingkirkan si ‘client’ (pemerintahan yang dilindunginya). Boleh jadi dilakukan oleh sang ‘patron’.
Afghanistan, setelah Revolusi Saur (Revolusi April 1978), mirip-mirip dengan “Long March” 1949-nya: Mao-Lin Biao–Deng-Zhou Enlai-Shaoqi, peran ‘patron’ (Uni Soviet), sangat dominan.
Kwartet: Nur Muhammad Taraki-Hafizullah Amin-Babrak Karmal-Najibullah, yang berpola ‘patron-client’ dengan Uni Soviet (Rusia sekarang), seperti halnya Mao cs menggulingkan Chiang Kai Shek, kwartet ini menyingkirkan Presiden Mohammad Daoud Khan atas rancangan Uni Soviet.
Terganggunya Uni Soviet, secara ideologi dan politik, menghasilkan pembunuhan politik. Hafizullah Amin tersirat diperintahkan ‘patron’nya (Uni Soviet) menghabisi Presiden Nur Muhammad Taraki. Taraki pun terbunuh.
Setelahnya, giliran Hazullah Amin dibunuh oleh ‘patron’nya, lewat invasi Uni Soviet ke Afghanistan (1979).
Seperti halnya Timur Tengah, ketika berhembus angin perdamaian Israel-Mesir (Manahem Begin-Anwar Sadat) tahun 1978, memberi ‘output’ yang sama dengan China dan Afghanistan. Presiden Mesir Anwar Sadat yang terbunuh oleh tentaranya sendiri, merupakan bagian dari pola ‘patron-client’ yang pragmatis.
PM Israel Yitzhak Rabin, mengalami nasib yang sama dengan Anwar Sadat. Selepas penandatangan perdamaian Oslo, antara Palestina-Israel 1993, pemuda ekstrem kanan Israel, Yigal Amir, menembak Rabin.
Titik jenuh, bisa menghasilkan penyingkiran pada tokoh yang dianggap “bebal” dengan “public opini” dan “bad news”. Tokoh “Sayap Kanan” dalam koalisi Netanyahu (Bezalel Smotrich dan Ittamar Ben Gvir, mesti membaca betul gerak AS untuk penyelesaian konflik ini (Timteng).
Pola “patron-client” AS-Israel, Bezalel Smotrich dan Ittamar Ben Gvir tidak bisa menyamakan Trump dengan: Joe Bidden, Barack Obama, Ronald Reagan, atau George Bush. Israel harus berhati-hati!
Terlebih, nama Trump sangat dipertaruhkan dalam “Prakarsa Trump”, di mana 20 rencana perdamaian Hamas-Israel di Gaza, ketuanya adalah Presiden AS Donald Trump sendiri.
Apa yang dialami Lin Biao, Deng Xiaoping, Huo Guofeng di China, atau Nur Muhammad Taraki-Hafizullah Amin di Afghanistan, bisa saja terjadi dengan Netanyahu-Smotrich-Ben Gvir di Israel.
Ketiganya harus melihat kepentingan AS di Timteng, di samping kepentingan Israel sendiri yang ‘paranoid’. Serangan Israel ke Qatar, dan berujung penandatangan kesepakatan keamanan strategis AS-Qatar. Menjadikan Israel bukan satu-satunya ‘privilege’ AS di Timteng.
Eropa Kutuk Israel
Israel yang tidak mengindahkan seruan negara utama Eropa, kini mendapat kecaman lantang. Itu, setelah kabinet keamanan Israel memaraf 19 permukiman baru di Tepi Barat (West Bank) yang diduduki.
Sahabat-sahabat AS di Eropa-Amerika: Inggris, Perancis, Spanyol, Irlandia, Jerman, Kanada, dan delapan negara lain, marah dan mengutuk keputusan itu.
Tindakan ini, melanggar hukum internasional dan berisiko memicu ketidakstabilan kawasan.
Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich yang ‘ekstrem’, menyetujui proposal pembangunan pemukiman Yahudi baru (Minggu, 21 Desember 2025 lalu), membuat negara sekutu AS meradang. Presiden AS Donald Trump, pun menentang hal ini.
Komunike bersama yang dirilis Inggris, mencakup: Belgia, Denmark, Islandia, Norwegia, Belanda, Jepang, Malta, di samping Perancis, Inggris, Irlandia, dan Italia sendiri.
Sikap keras Bezalel Smotrich ini, merusak implementasi rencana menyeluruh “Trump Plan” di Gaza. Perdamaian gagasan Presiden AS Donald Trump, untuk masuk ke fase-2, saat ini tengah diupayakan.
Keputusan Israel, membuat prospek jangka panjang perdamaian Timteng, terancam. Terlebih saat ini, Donald Trump ingin melangkah merangkul Suriah, Lebanon, dan Arab Saudi masuk ke dalam ‘in group’-nya. Lewat “Abraham Accord”.
Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 2334, sudah sangat jelas. Bahwa Tepi Barat, yang direbut Israel dari Yordania pada perang 1967, merupakan wilayah Palestina yang diduduki.
Keteguhan ke-14 negara Eropa-Amerika, yang mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat Palestina, sudah bulat. Komitmen ini tak tergoyahkan terhadap perdamaian yang komprehensif adil dan abadi (Guardian, 25 Desember 2025) .
Termasuk di dalamnya, solusi dua negara yang dinegosiasikan, dan tidak ada alternatif lain.
Smotrich, Ben Gvir, dan Netanyahu, kini harus berhati-hati terhadap Trump. Ketiganya tak bisa melihat Trump dalam satu wajah lagi. Atau mereka akan mengalami kejadian empiris sebagai solusi yang paling tragis.
*Sabpri Piliang* – (Pengamat Timur Tengah/Anggota Dewan Redaksi www.beritabuana.co)







