BERITABUANA.CO, JAKARTA — Kasus tewasnya dua orang debt collector di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, terus memantik perhatian publik setelah terungkap dugaan keterlibatan enam oknum anggota kepolisian dari Mabes Polri dalam pengeroyokan. Peristiwa yang terjadi di ruang publik tersebut berujung pada hilangnya nyawa, sekaligus memunculkan pertanyaan serius mengenai praktik penagihan utang di lapangan, penggunaan kewenangan, serta batas profesionalisme aparat penegak hukum dalam merespons konflik.
Insiden ini bermula dari aktivitas penagihan yang berujung cekcok, sebelum akhirnya bereskalasi menjadi dugaan pengeroyokan fatal. Aparat kepolisian telah menetapkan sejumlah tersangka dan menyatakan proses hukum akan berjalan transparan. Namun, di tengah proses penyidikan, kasus ini dinilai mencerminkan persoalan struktural yang lebih luas, yakni lemahnya pemahaman etika penagihan, minimnya pengawasan, serta potensi benturan antara debt collector dan aparat di lapangan.
Konsultan keuangan Asep Dahlan menyoroti serius kasus tewasnya dua debt collector di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, yang diduga akibat pengeroyokan oleh oknum anggota kepolisian dari Mabes Polri. Peristiwa ini, menurut pria yang akrab disapa Kang Dahlan itu, harus menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap praktik penagihan utang di lapangan sekaligus penegakan hukum yang adil dan transparan.
Kang Dahlan menilai, kasus tersebut tidak hanya menyangkut dugaan tindak pidana kekerasan, tetapi juga membuka kembali diskursus tentang batas kewenangan dan tata cara penagihan yang semestinya dilakukan oleh debt collector kepada debitur. “Kematian dalam proses penagihan, apa pun latar belakangnya, adalah tragedi yang tidak dapat dibenarkan. Proses hukum harus berjalan objektif dan akuntabel,” kata pendiri Dahlan Consultant itu, Sabtu (13/12/2025).
Ia menegaskan, penagihan utang oleh debt collector memiliki aturan yang jelas dan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), antara lain POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, Kang Dahlan menjelaskan bahwa penagihan hanya boleh dilakukan kepada debitur yang benar-benar menunggak, dengan membawa identitas resmi serta surat tugas dari perusahaan pembiayaan atau perbankan, serta menjelaskan tujuan penagihan secara transparan kepada debitur.
Selain itu, penagihan harus dilakukan dengan cara persuasif, tidak mengandung ancaman, intimidasi, kekerasan fisik maupun verbal, serta tidak mempermalukan debitur di ruang publik. Penagihan juga dibatasi waktu, umumnya hanya boleh dilakukan pada hari dan jam kerja, serta dilarang memasuki area privat tanpa persetujuan debitur.
Kang Dahlan menambahkan, jika debitur mengalami kesulitan pembayaran, debt collector seharusnya mengarahkan pada mekanisme penyelesaian yang tersedia, seperti restrukturisasi, rescheduling, atau renegosiasi kredit melalui lembaga pembiayaan terkait, bukan justru memicu konflik di lapangan.
Di sisi lain, ia juga menekankan bahwa aparat penegak hukum wajib bertindak profesional dan proporsional dalam menghadapi situasi apa pun. “Negara tidak boleh kalah oleh emosi. Setiap dugaan pelanggaran, baik oleh debt collector maupun aparat, harus diproses sesuai hukum yang berlaku,” ujarnya.
Kasus tewasnya dua debt collector di Kalibata kini tengah menjadi perhatian publik luas. Untuk itu, Kang Dahlan berharap tragedi ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh pihak—lembaga pembiayaan, debt collector, aparat penegak hukum, dan debitur—untuk menjunjung tinggi hukum, etika, serta kemanusiaan dalam setiap proses penagihan utang. (Ery)






