BERITABUANA.CO, JAKARTA – Anggota Komisi VI DPR RI, Prof Darmadi Durianto menyatakan sangat tidak sehat, kebijakan Kemenperin mengeluarkan 21 surat keputusan yang menunju Balai Besar Standardisasi milik Kemenperin untuk menangani sertifikasi sejumlah produk SNI wajib tertentu.
“Kebijakan penunjukan Balai Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri milik Kemenperin secara eksklusif jelas tidak sehat dan tidak adil. Ini menciptakan monopoli terselubung yang bertentangan dengan prinsip penilaian kesesuaian: independensi, transparansi, dan objektivitas. Dampaknya sudah nyata—ribuan pekerja LSPro swasta terancan terkena PHK, laboratorium menganggur, dan perusahaan kehilangan order. Itu menunjukkan ada kesalahan desain kebijakan yang harus segera dikoreksi,” tandas politisi dari Fraksi PDIP ini kepada wartawan, Jumat (28/11/2025)
Menurut Darmadi, kebijakan penunjukan Balai Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri milik Kemenperin secara eksklusif untuk menangani sertifikasi produk impor sebagai kebijakan yang tidak sehat, tidak adil, dan tidak sejalan dengan prinsip tata kelola industri yang baik.
Kebijakan tersebut telah menutup ruang gerak Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) swasta dan BUMN yang selama ini memiliki kompetensi dan infrastruktur yang tidak kalah, bahkan dalam banyak hal lebih siap dan lebih baik dalam hal layanan.
Padahal LSPro Swasta selama ini telah banyak menbantu Pemerintah dalam mensukseskan pelaksanaan sertifikasi SNI wajib, dan telah berinvestasi yang cukup besar untuk membangun laboratorium pengujian produk yang bertaraf nasional bahkan internasional dan ini sebenarnya sangat baik untuk meningkatkan profesionalitas standarisasi produk.
“Sangat disayangkan malahan sekarang dimonopoli oleh Balai Standardisasi dab Pelayanan Jasa Industri milik Kemenperin saja sehingga dampaknya—seperti ribuan pegawai yang terancam PHK, laboratorium idle, dan terhambatnya proses sertifikasi—adalah indikator jelas bahwa kebijakan ini mengabaikan aspek keadilan dan efisiensi ekonomi,” kata Darmadi.
Dalam sistem penilaian kesesuaian, tambah Darmadi, prinsip yang dijunjung adalah independensi, kompetensi, transparansi, dan keberterimaan pasar.
“Ketika lembaga pemerintah menjadi regulator sekaligus operator, apalagi tanpa proses transisi yang matang, maka terjadi conflict of interest yang merusak pilar tersebut. Ini bukan hanya merugikan perusahaan, tetapi juga menciptakan distorsi pasar yang pada akhirnya merugikan konsumen dan industri nasional,” tandasnya.
Hal itu diperparah, masih kata Darmadi, dengan proses sertifikasi SNI yang lambat—terutama akibat hambatan administrasi yabg berbelit-belit di SIINas—telah berimbas langsung pada rantai pasok komponen industri dan mengganggu produksi manufaktur nasional.
Dan hal itu menjadi sangat serius, karena industri Indonesia bergantung pada kepastian suplai komponen untuk menjaga kelancaran produksi.
Solusinya, dijabarkan Darmadi ada 3, sebagai berikut:
1. Kembalikan ekosistem penilaian kesesuaian ke prinsip kompetitif dan multi-lembaga. Pemerintah harus membuka kembali peran LSPro swasta dan BUMN yang tersertifikasi KAN dan memiliki kompetensi agar proses berjalan cepat, objektif, dan tidak tersentralisasi berlebihan.
2. Reformasi dan percepatan perbaikan sistem SIINas. Sistem ini harus menjadi fasilitator, bukan penghambat. Integrasi, simplifikasi, dan SLA (Service Level Agreement) harus diterapkan agar sertifikasi tidak memblok rantai pasok industri.
3. Pisahkan fungsi regulator dan operator. Kemenperin semestinya fokus menetapkan kebijakan dan pengawasan; sementara layanan teknis dapat dijalankan oleh lembaga-lembaga kompeten, baik pemerintah maupun swasta, secara setara.
Soal kemungkinan DPR meminta Menteri Perindustrian mengkoreksi kebijakan, kata Darmadi, secara prinsip, DPR memiliki kewenangan dan kewajiban untuk memastikan kebijakan kementerian tidak merugikan pelaku usaha, pekerja, maupun kepentingan nasional.
“Jika memang terbukti bahwa kebijakan ini menyebabkan monopoli, diskriminasi, dan dampak ekonomi serius seperti PHK massal, tentu DPR akan memanggil Menteri Perindustrian untuk meminta klarifikasi dan mengkoreksi kebijakan tersebut,” katanya.
“Saya pribadi berpandangan bahwa pemerintah perlu kembali pada pendekatan yang lebih inklusif, adil, dan berbasis kompetensi, sebagaimana kebijakan sebelumnya yang memberi ruang bagi semua LSPro yang telah diakreditasi oleh KAN. Ini penting agar perusahaan anggota ALSI, AMI, dan FOSBBI dapat kembali beroperasi, mempekerjakan pegawainya, dan menjaga kelangsungan industri nasional,” imbuhnya.
Darmadi memastikan, tujuannya sama, memastikan standardisasi berjalan baik tanpa mematikan ekosistem industri penilaian kesesuaian yang sudah puluhan tahun dibangun.
Dalam hal ini, negara harus hadir untuk menjaga persaingan yang sehat, bukan menciptakan ketidakadilan baru. Semua harus kembali pada aturan yang adil, kompetitif, dan sesuai standar internasional agar industri sertifikasi dan manufaktur dalam negeri bisa hidup kembali. (Kds)







