Memoar Reflektif Mahasiswa Indonesia di Jochi Daigaku, Tokyo, pada Musim Panas 1981

by
Sejumlah penulis yang tergabung dalam Perkumpulan Penulis ndonesia Alinea, kembali menggelar acara diskusi dan bedah buku. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Sejumlah penulis yang tergabung dalam Perkumpulan Penulis Indonesia Alinea, kembali menggelar acara diskusi dan bedah buku secara santai tapi mendalam yang dinamakan Titik Temu.

Titik Temu sekali lagi diadakan di sebuah kafe kecil di kawasan Cawang, Jakarta Timur pada Minggu kemarin (12/10/2025) dengan membedah buku baru karya anggota Alinea, Danny I. Yatim berjudul “Utsuskushii Deau Ne”.

Utsukushii Desu Ne adalah memoar reflektif yang mencatat pengalaman penulis sebagai seorang mahasiswa pertukaran di Jochi Daigaku, Tokyo, pada musim panas 1981. Lebih dari sekadar catatan perjalanan, buku ini adalah perenungan tentang dialektika tradisi dan kemajuan Jepang melalui sudut pandang anak muda dari negara berkembang saat itu.

Lalu bagaimana pengalaman 44 tahun silam masih bisa dituangkan menjadi sebuah buku pada tahun ini? Diskusi memang diawali dengan cerita tentang proaes penulisan kreatif buiu ini.

Menurut penulis, dia sering diejek sebagai “pengumpul sampah”. Sampah itu berupa tiket, brosur, leaflet, buku program, boarding pass, sobekan majalah, surat, makalah, bon toko, kliping, coretan buku harian, catatan perjalanan, dan foto yang berserakan dalam laci meja atau rak buku. Bila sedang rajin, kadang sampah dipilah-pilah lalu dipindahkan ke dalam map plastik secara tematik.

Demikian pula “sampah Tokyo” berhasil diolah dan diramu hingga menjadi naskah buku. Bagi penulis, fakta adalah hal penting daam penulusan memoar. Ini sebuah insight yang didapatkan dari rekan penulis travel writing Agustinus Wibowo.

Yang membedakan fiksi dan non-fiksi adalah bahwa fakta harus bisa dipertahankan dalam non-fiksi, namun narasinya boleh saja imajinatif dan etap menjadi narasi yang menghibur. Inilah yang disebut sebagai creative.non fiction
Kembali ke Lorong Budaya Jepang Era 1980-an.

Melalui 84 cerita anekdotal, baik yang humoris maupun mengharukan, pembaca diajak menelusuri lorong-lorong budaya Jepang era 1980an yang direkam dengan penuh rasa ingin tahu hingga membuat penulis sering berujar, “Bagus, ya?” (arti judul buku).

Pada Titik Temu ini, penulis tidak hanya menagih cerita, tetapi juga mengajar peserta membacakan beberapa cuplikan buku, seperti cerita bejalan-jalan di Taman Meiji, kisah pertemuan dengan orang Indonesia di aebuah stasiun, tragedi kehilangan dompet, berita banjir di Tokyo, serta mandi di ofuro (bak air panas).

Para peserta yang hadir memang belum pernah membaca buku ini sebelumnya. Oleh karena itu Titik Temu sekaligus menjadi ajang promosi buku. Dan memang ketertarukan memiliki buku ini muncul di sini.

Menurut Pratiwi Juliani, cara penuturan penulis membuat pembaca seerasa berada di Jepang melalui kacamata si penulis. Roswita Nimpuno mengatakan buku ini seakan menjadi panduan wisata ke Tokyo, karena faktanya lengkap, tetapi disampaikan melalui cerita. ***