Demokrasi “Jalan Ketiga” Ala Indonesia, Abdul Hakim: Sebuah Hibriditas Politik Berakar dari Sejarah

by
Pengamat Politik dari Skala Survei Indonesia (SSI) Abdul Hakim MS. (Foto: KWP)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Demokrasi Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi selalu bergerak dalam dinamika tarik-menarik antara sistem presidensial dan parlementer.

Narasi jatuh-bangun kabinet, perubahan konstitusi, hingga praktik politik kontemporer memperlihatkan bahwa bangsa ini tak pernah menempuh jalan tunggal, melainkan selalu mencari “jalan ketiga” yang khas Indonesia.

Hal tersebut ditegaskan Pengamat Politik dari Skala Survei Indonesia (SSI) Abdul Hakim MS, dalam acara Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), di Komplek Parlemen, Senayan, Rabu (1/9/2025).

Dalam paparannya, Hakim menyebut model demokrasi Indonesia ibarat sebuah sintesis politik: secara konstitusional menganut sistem presidensial, namun dalam praktik kerap memperlihatkan corak parlementer.

Ia pun mengurai bahwa sejak UUD 1945 disahkan pada 18 Agustus 1945, Indonesia sejatinya menganut sistem presidensial, dengan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Namun, kata dia, realitas politik segera membawa pergeseran. Maklumat Wapres No. X (16 Oktober 1945) dan Maklumat Pemerintah (14 November 1945) memperkenalkan praktik parlementer de facto. Presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif penuh, sementara kabinet harus bertanggung jawab kepada parlemen.

“Akibatnya, dalam kurun 1945–1949, Indonesia mengalami delapan kali pergantian kabinet, rata-rata hanya bertahan kurang dari satu tahun. Instabilitas politik ini makin kentara ketika Indonesia memasuki era Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan kemudian kembali ke negara kesatuan dengan UUDS 1950 yang murni parlementer,” jelas Hakim.

Bahkan, sambung dia, situasi kabinet yang kerap jatuh bangun mendorong Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, membubarkan Konstituante, serta mengembalikan Indonesia pada UUD 1945 dengan sistem presidensial. Sejak itu, wajah sistem ketatanegaraan Indonesia kembali berubah.

Tidak hanya itu, pada era reformasi melalui amandemen UUD 1945 mempertegas sistem presidensial. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, memiliki masa jabatan tetap, serta hanya dapat diberhentikan melalui mekanisme impeachment. DPR, MK, MA, hingga lembaga independen seperti KPU dan BPK memperkuat mekanisme checks and balances.

Namun, realitas politik di lapangan menunjukkan fenomena yang berbeda. Partai politik sering memposisikan diri sebagai ‘oposisi’ ketika tidak berada dalam lingkaran kekuasaan, meski dalam sistem presidensial tidak ada oposisi formal sebagaimana di negara parlementer.

“Kita melihat praktik yang cair. PDIP pernah berada di luar pemerintahan SBY, sementara Gerindra juga sempat mengambil posisi oposisi sebelum akhirnya bergabung ke koalisi pemerintah. Artinya, oposisi di Indonesia tidak permanen, tetapi fleksibel mengikuti konfigurasi politik,” ungkapnya.

Koalisi gemuk pun menjadi praktik lumrah. Akibatnya, DPR yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif kerap kehilangan ketajaman fungsi pengawasan. Dalam kondisi ini, peran oposisi justru lebih banyak diambil alih oleh media, masyarakat sipil, dan lembaga independen seperti MK maupun KPK.

Fenomena hibriditas politik ini, menurut Hakim, tidak bisa dilepaskan dari tradisi politik Indonesia yang sejak awal menjunjung tinggi keguyuban dan konsensus. Sejumlah contoh memperlihatkan pola jalan tengah: Pancasila sebagai dasar negara di tengah perdebatan ideologi, politik luar negeri bebas-aktif pada masa Perang Dingin, hingga pilihan desentralisasi yang bukan federalisme penuh maupun sentralisme mutlak.

“Indonesia selalu mencari jalan ketiga. Oposisi abu-abu pun harus dipahami dalam kerangka itu. Bukan semata kelemahan institusional, tetapi juga ekspresi budaya politik konsensus yang mengakar dalam bangsa ini,” ujarnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa keguyuban tidak boleh menghilangkan daya kritis demokrasi. “Demokrasi yang sehat membutuhkan harmoni, tapi juga ketegangan yang produktif. Tanpa oposisi yang tegas, demokrasi kehilangan daya kritis. Sebaliknya, tanpa keguyuban, demokrasi bisa terjebak polarisasi yang membelah bangsa,” jelasnya.

Abdul Hakim menegaskan bahwa demokrasi Indonesia bukanlah tiruan mentah dari model Barat, melainkan hasil pergulatan sejarah dan budaya politik sendiri.

Konstitusi mengukuhkan sistem presidensial, tetapi praktik politiknya kadang menyerupai parlementer. Dari sanalah lahir oposisi abu-abu yang merepresentasikan “jalan ketiga” ala Indonesia.

“Jika dikelola dengan bijak, jalan ketiga ini justru bisa menjadi kontribusi Indonesia bagi wacana global tentang demokrasi. Bahwa demokrasi tidak harus seragam, melainkan bisa menemukan bentuk khas yang sesuai dengan sejarah dan budaya masing-masing bangsa,” pungkas Abdul Hakim.