Titik Temu Alinea #4: Menghidupkan Ingatan Kolektif Lewat Buku “Otina dan Nanga-Nanga”

by
Photo bersama para penulis yang tergabung dalam perkumpulan Alinea,, usai acara diskusi buku. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Perkumpulan Alinea menggelar forum literasi Titik Temu edisi keempat pada Minggu (14/9/2025) di Jakarta Selatan. Pertemuan kali ini menghadirkan diskusi hangat seputar peluncuran buku terbaru Magdalena Sitorus berjudul “Otina dan Nanga-Nanga”, yang merekam kisah perempuan penyintas tragedi 1965.

Tiga penulis inti Alinea, yakni Stebby Julionatan, Debra H. Yatim, dan Danny I. Yatim hadir bersama empat Kawan Alinea: Sisie, Takarina, Indri, dan Ocha. Selama dua jam, mereka mendalami isi buku keenam dari seri Perempuan Penyintas 65 tersebut.

Magdalena, mantan Komisioner purna bhakti Komnas Perempuan sekaligus penulis, menegaskan bahwa penerbitan buku ini dilakukan tanpa sokongan dana hibah maupun penerbit besar. “Saya hanya ingin menjaga ingatan agar nama-nama kecil yang terhapus dari sejarah tetap terdengar,” ujarnya.

Inspirasi penulisan Otina dan Nanga-Nanga muncul dari perjumpaan Magdalena dengan kelompok paduan suara Dialita, yang anggotanya merupakan perempuan-perempuan penyintas 1965. Dari situ, ia mengenal kisah Rukiyah, tahanan politik asal Sulawesi yang dibuang ke Nanga-Nanga pada masa Orde Baru.

Proses penulisan tidak mudah. Keluarga Rukiyah sempat menolak karena khawatir kisah tersebut disalahgunakan. Namun, berkat dorongan cucu Rukiyah, keluarga akhirnya mendukung penerbitan buku ini. “Buku ini penting sebagai pengingat generasi muda bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga saksi sejarah,” tutur Magdalena.

Selain riset literatur, Magdalena juga melakukan wawancara daring hingga perjalanan langsung ke Kendari. Ia menemukan bahwa kawasan Nanga-Nanga kini telah berubah menjadi pemukiman padat, namun jejak luka sejarah masih terasa lewat konflik agraria dan memori sosial warga.

Magdalena, yang konsisten menulis tentang perempuan dan keadilan gender, sebelumnya telah melahirkan karya seperti Onak dan Tari di Bukit Duri serta Jiwa-jiwa yang Bermartabat. Melalui buku terbarunya, ia kembali meneguhkan komitmen untuk menyuarakan pengalaman perempuan yang kerap dipinggirkan.

Pertemuan Alinea kali ini ditutup dengan pengumuman agenda berikutnya, yakni peluncuran buku Danny I. Yatim yang akan digelar di sebuah kafe di Jakarta Selatan. Menurut Stebby Julionatan, pengurus Alinea sekaligus penggagas Titik Temu, pemilihan kafe sebagai lokasi pertemuan bertujuan menciptakan ruang alternatif untuk bertukar pikiran secara santai, merawat ingatan kolektif, sekaligus melahirkan kreativitas baru.

“Harapan saya, Otina dan Nanga-Nanga tidak berhenti sebagai catatan sejarah. Saya ingin buku ini bisa dibaca anak-anak SMA agar mereka lebih peka terhadap masa lalu bangsa,” ujar Stebby.

Dengan begitu, Titik Temu bukan sekadar forum literasi, melainkan ruang perjumpaan lintas generasi yang menyalakan percakapan antara sejarah, sastra, dan pengalaman hidup para penyintas. ***