BERITABUANA.CO, JAKARTA – Gedung Negara Grahadi atau kompleks rumah dinas Gubernur Jawa Timur, di Jalan Raya Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur yang dibakar massa, pada Sabtu (30/8/2025) malam lalu, terus menjadi keprihatinan dan luka yang mendalam di ruang publik.
Keprihatinan itu tidak hanya dirasakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indra Parawansa dan Wakil Gubernur Jatim, Emil Elistianto Dardak, tetapi juga menjadi keprihatinan serius bagi Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Dr Lia Istifhama atau akrab disapa Ning Lia ini.
Hal itu diungkap Ning Lia dalam diskusi lesehan bersama Ditintelkam Polda Jawa Timur, Kombes Nanang Juni Mawanto yang berlangsung di kediaman pribadinya.
Dari obrolan sederhana itu, muncul dorongan perubahan aturan terkait lokasi demonstrasi, dalam hal ini pembatasan bahkan pelarangan aksi demonstrasi di kawasan cagar budaya.
Doktoral UINSA itu menjelaskan, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum memang menjamin kebebasan warga untuk berdemonstrasi. Namun, UU tersebut, sambung Ning Lia juga memberi batasan lokasi, seperti larangan unjuk rasa di istana presiden, tempat ibadah, rumah sakit, hingga objek vital nasional.
“Undang-undang ini memang sudah mengatur larangan membawa benda berbahaya dan aksi pada hari besar nasional. Tetapi belum secara tegas menyebut cagar budaya,” kata Ning Lia dikutip dari terangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu (14/9/2025).
“Padahal, banyak kantor pemerintahan yang menempati gedung bersejarah sehingga berpotensi jadi sasaran jika tidak dilarang tegas. Meski, diksi objek vital nasional seharusnya mengacu pada cagar budaya, namun ternyata hal ini belum dipahami sebagai kesepahaman bersama,” tambahnya.
Senator yang meraih survey tertinggi tingkat popularitas dan kesukaan wakil rakyat di Jawa Timur versi Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI) juga menyayangkan jika monumen bersejarah tidak dilindungi oleh aturan yang tegas.
“Kita bisa melihat negara lain, seperti Rumania, di mana cagar budaya di pusat kota maupun pinggiran tetap terawat dan dijaga sebagai ikon bangsa. Apakah faktor publik yang sangat menghormati bangunan bersejarah sehingga menjadi konsensus atau pemahaman bersama selalu merawat dan menjaga ataukah memang ada aturan yang tegas seperti larangan melakukan aksi demonstrasi di depan cagar budaya?” sebutnya.
“Poinnya, jika upaya melindungi cagar budaya tidak bisa menjadi kesadaran umum, maka perlu intervensi pemerintah melalui perubahan aturan, yaitu dengan meletakkan diski larangan demonstrasi di depan cagar budaya,” tegas putri ulama besar KH Maskur Hasyim itu.
Sebab, kata Ning Lia, cagar budaya adalah saksi sejarah perjalanan bangsa. Sehingga sekali rusak, memori yang hilang tidak bisa digantikan.
“Karena itu, saya mendorong lahirnya aturan tegas, baik revisi UU maupun RUU baru, yang melarang aksi demonstrasi di kawasan cagar budaya,” tegas politisi cantik asal Jatim tersebut.
Sedangkan terkait aksi demo untuk menyampaikan pendapat umum, Ning Lia tidak menampik bahwa hal itu sebagai wajah demokrasi.
“Sebagai negara demokrasi, kesempatan menyampaikan pendapat di muka umum adalah keniscayaan. Saya sendiri, dua kali turut ikut berorasi dalam aksi demo beberapa tahun lalu. Namun, saya selalu menekankan pada diri sendiri, bahwa apapun yang kita suarakan, harus suara yang bersifat transformasi kebaikan, bukan provokasi,” paparnya.
“Karena negara ini harus kita jaga ketertiban dan damainya. Soal apapun yang tidak tepat, maka harus dikritik secara tepat, jangan menimbulkan masalah baru, salah satunya tolak oknum yang merusak nilai awal sebuah aksi,” terangnya.
Tidak hanya itu, Ning Lia juga meminta aparat kepolisian untuk mengusut tuntas dalang perusakan Gedung Negara Grahadi. Dirinya meyakini, hukuman maksimal harus diberikan pada dalang kerusuhan demi efek jera sekaligus bentuk penghormatan terhadap warisan sejarah bangsa.
“Saya berharap dalang utama segera diketahui, ditangkap dan mendapat sanksi sosial dari masyarakat, selain law enforcement melalui penindakan hukum oleh kepolisian. Karena ulah keji provokator, sangat merusak warisan sejarah sekaligus mencuci otak anak-anak yang terlibat kerusuhan. Bagi saya, ini sudah bagian kejahatan kemanusiaan,” pungkasnya.
Seperti diberitakan, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyayangkan aksi massa merusakn dan membakar Gedung Grahadi sisi barat. Bangunan tersebut merupakan warisan sejarah. Kayu jati yang menjadi struktur bangunan berusia ratusan tahun.
Khofifah pun juga mengaku sulit menghitung kerugian terbakarnya cagar budaya Gedung Negara Grahadi karena itu bangunan bersejarah. Itu sebabnya, Khofifah sangat sedih dengan aksi pembakaran tersebut. (Jal)





