PRESIDEN Prabowo Subianto, usai bertemu anggota-anggota Gerakan Nurani Bangsa (GNB) akan membentuk tim Reformasi Kepolisian RI, karena dianggap salah satu kebutuhan mendesak setelah terjadi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia baru-baru ini.
Peristiwa rusuh itu terjadi setelah Polri melakukan tindakan represif terhadap para pendemo di gedung DPR, yang mengakibatkan seorang pengemudi ojol Affan Kurniawan (21) tewas terlindas kendaraan taktis Brimob Polda Metro Jaya.
Desakan masyarakat ke Presiden Prabowo untuk mencopot Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Asep Edi Suheri terakhir disuarakan demo BEM UI di depan gedung DPR, Selasa (9/9).
Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dengan sejumlah anggota GNB, yang tokoh-tokoh bangsa yaitu ibu Sinta Nuriyah Wahid, Romo Franz Magnis Suseno, Pdt Gomar Gultom, M. Quraish Shihab, Omi Komaria Nurcholish Majid, Lukman Hakim Saifuddin, Erry Riyana Pamekas, Komarudin Hidayat, Alissa Wahid dan Ery Seda berlangsung selama tiga jam di istana Kepresidenan.
Mereka diminta masukan-masukan pemikiran yang konstruktif dari Presiden tentang berbagai isu politik yang menimbulkan keresahan dan tuntutan masyarakat di bidang ekonomi dan keamanan.
Setelah pertemuan, dan kemudian Presiden Prabowo bertolak ke Qatar, muncul rumor di kalangan media bahwa Presiden Prabowo segera mengganti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan presiden sudah berkirim surat ke DPR.
Namun kabar penggantian Kapolri dibantah Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya. Ia mengatakan kabar itu tidak benar. Hal senada dijelaskan Wakil Ketua DPR Sufni Dasco Ahmad. “Belum ada surat presiden tentang penggantian Kapolri, ” ujar Dasco kepada awak media di Senayan.
Jika presiden akan membentuk Tim Reformasi Polri dalam waktu dekat ini, berarti apa yang dilakukan Polri selama ini dalam Grand Strategi Polri 2005-2025 yang mencakup tiga tahapan dianggap gagal total.
Setelah Reformasi 1998, Polri pisah dengan TNI sesuai UU No 2 Tahun 2002, Polri kemudian menyusun Reformasi Menyeluruh atau Grand Strategi Polri 2005-2025 yang mencakup Reformasi Kultural,Struktural dan lnstrumental.
Reformasi Polri 2005-2025 merujuk pada periode transformasi institusi Polri dalam upaya membangun profesionalisme, akuntabilitas, dan kepercayaan publik, yang diatur dalam Grand Strategy Polri 2005-2025. Strategi ini dibagi menjadi tiga tahap: Trust Building atau membangun kepercayaan masyarakat (2005-2010),
Kemudian tahap kedua Partnership Building membangun kerjasama dengan masyarakat (2011-2015), dan tahap ketiga Service for Excellence (2016-2025), yang berfokus pada penegakan keadilan dan pemolisian masyarakat.
Meskipun rencana strategis yang sudah 20 tahun berjalan tetap ada kritik dari masyarakat sipil, sehingga ini menunjukkan bahwa agenda reformasi masih belum menyentuh akar persoalan kultural, instrumental, dan struktural, dan sering kali terkesan hanya seremonial.
Keberhasilan-keberhasilan Polri mengungkap kejahatan narkoba, teroris dan kriminal teroganisir seperti “menguap” begitu saja karena ulah tidak profesional oknum-oknum anggota Polri itu sendiri.
Misalnya ada kasus eks Kadiv Propam Ferdy Sambo, mantan Kapolda Sumbar Teddy Minahasa Putra yang terbukti menjual barang bukti narkoba serta yang paling anyar terkait penjualan barang bukti narkotik yang dilakukan Kasat Narkoba Polresta Barelang, Batam, sehingga divonis hukuman mati.
Sesuai UU No 2 Tahun 2002 Polri telah berdiri sendiri lepas dari bayang-bayang TNI sebelumnya. Polri sebagai institusi penegak hukum dan penjaga Kamtibmas memang memiliki peran yang sangat strategis.
Dengan memiliki multi peran kekuasaan di berbagai lini, Polri sepertinya masih kedodoran menghadapi eskalasi demo yang meningkat menjadi kerusuhan massal seperti yang baru saja terjadi. Ke depan mungkin Polri perlu berbagi peran dengan TNI dalam bidang pengamanan.
Di bidang penyidikan kasus-kasus kriminal masih banyak terjadi penyimpangan dalam melayani masyarakat pencari keadilan. Sebab itu banyak korban kasus kriminal seperti pencurian enggan melapor ke polisi.
Peran Kompolnas sebagai pengawas eksternal sesuai amanat UU Kepolisian, tidak banyak membantu meningkatkan profesional anggota Polri. Kompolnas hanya jadi “macan ompong” dalam mengawasi Polri.
Sebagai penyidik tinggal Polri juga harus lebih fleksibel dalam koordinasi proses hukum yang dikenal dulu Mahkejapol, Mahkamah Agung, Kehakiman (pengadilan), Kejaksaan dan Polri.
Saat ini terkesan Mabes Polri ada gap dengan Kejaksaan Agung. Hal ini terlihat adanya kerjasama Kejaksaan Agung dengan TNI dalam mengamankan para jaksa dan kantornya dari Kejagung sampai Kejari.(nico karundeng)