Kanit Mega: Laporan Kasus Kekerasan di Polres Kupang Alami Peningkatan

by
Diskusi terkait GEDSI yang digelar Yayasan Ume Daya Nusantara (UDN). (iir)

BERITABUANA.CO, KUPANG – Laporan kasus kekerasan di wilayah hukum Polres Kupang, alami peningkatan. Bahkan di tahun 2025 mencapai 60 kasus.

Hal ini diungkapkan Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kupang, IPDA Mega Olivia Wun pada acara diskusi terkait Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) di Kantor Yayasan Ume Daya Nusantara (UDN), Jumat (29/8/2025.

Secara rinci, Mega mengungkapkan, data kekerasan tiga tahun terakhir yang ada di Polres Kupang, dari tahun 2022 sebanyak 32 kasus, yakni setubuh 23 kasus, cabul 5 kasus, dan pemerkosaan 4 kasus.

Selanjutnya, kata Mega, tahun 2023 terdapat 38 kasus, yakni 28 setubuh, 8 cabul, dan pemerkosaan 2. Di tahun 2024 alami penurunan, dengan total 34 laporan, setubuh anak 24 kasus, cabul 8 kasus, dan pemerkosaan 2 kasus.

“Ini belum saya sampaikan dengan laporan kekerasan anak, baik yang dianiaya maupun Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),” jelas dia.

Sedangkan untuk tahun 2025 sedang berjalan, kata Mega, laporan sementara yang diterima ada 60 laporan, baik setubuh, cabul maupun aniaya anak.

“Untuk kasus kekerasan seksual , proses hukum akan terus berlanjut, meskipun sudah ada perdamaian antara keluarga atau pelaku dengan korban,” papar Mega.

Kesepakatan damai, lanjut Mega, notanya akan dilampirkan ke dalam berkas, mungkin saja untuk meringankan atau menjadi pertimbangan jaksa atau hakim, tapi bagi pihak kepolisian tetap lanjut.

“Saat ini marak kasus anak bukan dianiaya oleh orang dewasa atau orang tuanya, tapi oleh anak sebayanya. Contoh, anak laki-laki mabuk saat pulang pesta, saat lewat di depan sekelompok anak lain yang iseng, maka anak mabuk akan dipukul atau dibacok,” ungkapnya.

Diakui Mega, pihaknya tidak akan melayani korban KDRT yang sudah pernah mencabut laporan.

“Korban KDRT biasanya datang melapor saat sudah berkali-kali mengalami, tapi setelah menjalani pemeriksaan, sering mereka minta cabut laporan,” ucap Mega.

Untuk itu, tambah Mega, Unit PPA akan buat perjanjian diatas materei, sehingga kalau mereka kembali melaporkan kejadian yang sama, tidak lagi layani

“Banyak tantangan yang dihadapi PPA dalam penegakan hukum, seperti budaya, karena masyarakat menganggap kekerasan sebagai aib keluarga, sehingga banyak kasus yang tidak dilaporkan,” jelasnya.

Perhatian untuk Lansia
Sebelumnya, Koordinator Program GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) SKALA di NTT, Frederika Tadu Hungu menjelaskan, negara saat ini juga memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang lanjut usia (lansia) sebagai salah satu kategori kelompok rentan.

“Karena berdasarkan prediksi, bahwa tahun 2050 bonus demografi, meningkatnya harapan hidup kelompok lansia akan mencapai 20 persen dari total populasi, sehingga lansia tetap produktif,” ujar Frederika.

Untuk itu, tambah Frederika, masyarakat yang usianya diatas 60 tahun, kalau biisa tetap produktf atau tidak menimbulkan ketergantungan dengan sesama.

“Sekarang lansia didorong untuk produktif, karena itu juga sudah dibuat strategi nasional lanjut keusiaan tersendiri,” papar Frederika.

Diakui Frederika, Provinsi NTT mempunya persoalan gender dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi. Misalnya di pendidikan, rata-rata lama sekolah anak perempuan masih tertinggal dari anak laki-laki.

“Untuk ekonomi , juga pengeluaran perkapita perempuan jauh lebih rendah dari laki-laki. Misalnya laki-laki itu perkapitanya hampir 11 ribu, sedangkan perempuan masih 7000,” kata Frederika.

Disamping itu, lanjutnya, untuk kesehatan, juga masih menghadapi masalah kematian ibu yang melahirkan, yang masih tinggi yaitu 316/100.000 kelahiran hidup.

Khusus untuk penyandang disabilitas, tegas Frederika, hingga saat ini belum memiliki data yang pasti, sehingga masih menjadi persoalan tersendiri.

“Tentunya hal ini menyulitkan pendekatan pembangunan, yang kemudian menyasar langsung kepada mereka,” jelas dia.

Frederika mencontohkan, SKALA yang saat ini sedang membantu pemerintah melalui data terpadu sosial ekonomi nasional, untuk kalau bisa by name by adres (BNBA).

“Sehingga kalau ada bantuan sosial, siapa penerima bantuan sudah dapat nama pastinya. Maka perlu memastikan setiap penyandang disabilitas, punya dokumen sipil kependudukan,” kata Frederika.

Diakui Frederika, di budaya NTT penyandang disabilitas masih disembunyikan, tidak diakui, sehingga tidak masuk dalam KK.

“Bahkan masih ada juga yang dipasung, sehingga kalau tidak masuk di dalam catatan sipil, mereka tidak bisa mendapat hak-haknya,” pungkas Frederika. (iir)