Aksi Penolakan Pilkada Lewat DPRD Mulai Muncul

by
Koordinator TePI Indonesia Jeirry Sumampow. (Foto: Dok)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) menolak wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Koordinator TePI Indonesia Jeirry Sumampow melihat, wacana pengembalian sistem pilkada ini sebagai langkah mundur yang berbahaya bagi demokrasi kita, terlebih lagi karena ini tampak sebagai upaya mengabaikan putusan konstitusional.

“Argumentasi tentang efisiensi biaya adalah ilusi. Yang terjadi justru pergeseran politik uang dari skala massal ke skala yang lebih tersembunyi, di mana setiap suara anggota DPRD akan menjadi komoditas transaksi politik yang mahal dan sulit diawasi,”kata Jeirry lewat keterangan resminya yang di terima www.beritabuana.co di Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Dalam kaitan ini, TePI Indonesia menegaskan bahwa pengembalian Pilkada ke DPRD akan menghilangkan hak rakyat untuk memilih secara langsung dalam menentukan pemimpin daerahnya. Partisipasi publik yang telah dibangun sejak era reformasi kata Jeirry akan runtuh.

“Ini bukan hanya sekadar mekanisme pemilihan, ini adalah inti dari kedaulatan rakyat. Jika rakyat tidak lagi memilih langsung, apa gunanya partisipasi politik mereka? Hilangnya kontrol langsung ini akan memutus ikatan antara pemimpin dan pemilih, serta berpotensi menumbuhkan apatisme politik di kalangan masyarakat,” beber Jeirry.

Disisi lain , Jeirry mengungkapkan, kepala daerah yang dipilih oleh DPRD cenderung akan memiliki loyalitas utama kepada partai politik dan anggota dewan yang memilihnya, bukan kepada rakyat.

Karena itu diingatkan, hal demikian Ini akan secara drastis melemahkan akuntabilitas publik mereka. Rakyat akan kehilangan mekanisme langsung untuk menghukum atau memberi apresiasi kepada pemimpin daerah melalui kotak suara.

Tak hanya itu, sistem ini justru akan menjadi surga bagi oligarki politik. Menurut Jeirry , keputusan tentang siapa yang menjadi kepala daerah akan sepenuhnya berada di tangan elit partai dan koalisi politik di DPRD, seringkali akan mengambil kesepakatan-kesepakatan tertutup.

” Ini berisiko tinggi melahirkan pemimpin yang tidak representatif dan hanya melayani kepentingan kelompok tertentu,” ujarnya.

Dia menyatakan bisa memahami bahwa wacana ini memerlukan revisi signifikan terhadap Undang-Undang Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah. Namun, juga mempertanyakan urgensi dan motivasi di balik langkah mundur ini, terutama ketika ini terlihat seperti upaya menghindar dari putusan lembaga yudikatif.

“Sejak reformasi, bangsa ini telah berinvestasi besar dalam mematangkan demokrasi partisipatif. Mengapa kita harus kembali ke sistem yang telah terbukti rentan terhadap praktik KKN dan kurangnya transparansi dan akuntabilitas, apalagi dengan mengabaikan putusan MK, ?” tanya dia.

Jeirry melihat ada indikasi kuat bahwa wacana ini memiliki dukungan kuat di tingkat eksekutif dan berpotensi mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, mengingat keselarasan pandangan antara Presiden dan sebagian besar fraksi di DPR RI. Ditegaskan, jika koalisi pendukung pemerintah bersatu, kemungkinan besar usulan ini akan lolos.

Padahal, kata Jeirry, sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2024. Putusan MK tersebut secara tegas telah menutup ruang adanya pemilihan kepala daerah melalui DPRD, dengan memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal.

Dibagian lain keterangannya, Tepi Indonesia kata Jeirry menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, dan partai politik yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi untuk bersatu menolak wacana ini.

Alasannya, demokrasi bukan hanya tentang efisiensi, tapi tentang representasi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat. “Jangan biarkan demokrasi kita dikorbankan demi kepentingan sesaat, apalagi dengan mengesampingkan pilar hukum dan konstitusi,” tegasnya. (Asim)