Kebaya, Perempuan, dan Masa Depan Bangsa

by
Ketua Umum Alumni SMA Jakarta Bersatu/ASJB, R.A. Jeni Suryanti. (Foto: Istimewa)

Oleh: R.A. Jeni Suryanti (Ketua Umum Alumni SMA Jakarta Bersatu/ASJB)

SETIAP kali kita menyebut “Indonesia Emas 2045”, yang terbayang adalah negeri yang telah matang sebagai bangsa: sejahtera, adil, dan kuat di antara pergaulan dunia. Namun, jarang kita bertanya, siapa yang akan membawa kita ke sana? Bagaimana karakter manusia yang akan memimpin negeri seratus tahun merdeka itu dibentuk?

Mereka tidak lahir dari ruang kosong. Mereka dilahirkan dan dibesarkan oleh para perempuan — ibu, pendidik pertama dalam keluarga, pengasuh nilai, dan penjaga memori kolektif.

Karena itu, jika kita ingin Indonesia Emas bukan sekadar angan, maka perempuan Indonesia harus berdiri di garis depan pembangunan. Dan di tengah arus globalisasi yang makin tak berbatas, salah satu cara menguatkan peran perempuan adalah dengan merawat akar budayanya —salah satunya, melalui kebaya.

Kebaya bukan kain semata. Ia adalah simpul antara masa lalu dan masa kini. Di balik jahitannya tersimpan nilai: kesederhanaan, kelembutan, keteguhan hati. Nilai-nilai yang lekat dengan perempuan Nusantara, dari Minang hingga Maluku, dari Betawi hingga Bali.

Pada Kongres Wanita Indonesia tahun 1964, kebaya menjadi busana yang menyatukan perempuan dari berbagai penjuru negeri, dalam satu misi kebangsaan. Bahkan Presiden Soekarno kala itu mengapresiasi semangat itu sebagai kekuatan kultural perempuan Indonesia yang tak ternilai.

Namun kini, di tengah zaman yang terus berlari cepat, kebaya pelan-pelan menjauh dari keseharian kita. Ia hadir hanya di acara resmi, di panggung-panggung seremoni, atau di museum dan foto lawas. Padahal kebaya bisa tetap hidup, jika kita menolak melupakannya.

Menjaga Ingatan Budaya

Sebagai bagian dari masyarakat sipil, Alumni SMA Jakarta Bersatu (ASJB) mencoba mengambil peran dalam menjaga ingatan budaya ini. Kami percaya, generasi yang kuat harus tahu dari mana ia berasal. Maka dalam rangka Hari Kebaya Nasional 2025, ASJB akan turut berpartisipasi di perhelatan budaya. Bukan sekadar berpakaian kebaya, tetapi meneguhkan bahwa perempuan Indonesia, dengan segala keberagamannya, adalah garda terdepan dalam menjaga marwah bangsa.

Bagi kami, melestarikan kebaya bukan soal romantisme masa lalu, melainkan kerja budaya yang relevan bagi masa depan. Sebab dalam kainnya tersimpan identitas, dalam motifnya terselip sejarah, dan dalam tubuh yang mengenakannya tercermin martabat bangsa.

Bukan Sekedar Cita-cita

Indonesia Emas bukan sekadar cita-cita makroekonomi. Ia adalah tentang manusia dan kebudayaan yang tumbuh sejajar. Maka, jika kita serius ingin mencapainya, kita perlu mulai dari hal-hal yang tampak kecil, tapi sesungguhnya mendasar: menghormati perempuan, merawat nilai, dan menjaga warisan budaya.

Dan kebaya, dengan segala kesahajaannya, adalah pengingat hal itu. Saya mengucapkan Selamat Hari Kebaya Nasional 2025. ***