Oleh Asep Dahlan*
DALAM beberapa tahun terakhir, praktik penipuan berkedok pinjaman online (pinjol) terus menyasar masyarakat dengan pola yang makin kompleks dan sulit dideteksi. Di tengah gempuran iklan daring dan aplikasi-aplikasi yang menjanjikan dana cepat, banyak warga terjebak dalam jerat utang ilegal tanpa memahami risiko dan legalitasnya. Maka, muncul pertanyaan penting: apakah teknologi bisa menjadi benteng utama melawan kejahatan keuangan digital?
Jawaban saya: bisa, tapi hanya jika dibarengi dengan peningkatan literasi digital masyarakat.
Teknologi digital seperti kecerdasan buatan (AI), big data, dan sistem identitas digital nasional (digital ID) sejatinya memiliki potensi luar biasa. Di banyak negara maju, inovasi ini sudah menjadi garda terdepan dalam melindungi konsumen. Di Singapura dan Estonia, misalnya, sistem digital ID bukan sekadar alat administrasi, melainkan menjadi fondasi utama dalam proses verifikasi identitas dan transaksi keuangan.
Indonesia sebenarnya tidak tertinggal jauh. Kita sudah memiliki e-KTP dan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dari OJK. Namun, pemanfaatannya belum maksimal dalam konteks pencegahan kejahatan pinjol. Inilah celah yang sering dimanfaatkan pelaku pinjol ilegal—celah antara sistem yang ada dan kemampuan lembaga untuk mengintegrasikannya secara menyeluruh.
Bayangkan jika semua penyedia pinjol legal terhubung dalam satu ekosistem digital yang transparan dan teregulasi, dengan proses verifikasi real-time dan sistem peringatan otomatis saat ada aktivitas mencurigakan. Maka ruang gerak penipu akan makin sempit. Penipuan bisa dideteksi lebih dini, bahkan dicegah sebelum terjadi.
Namun, teknologi hanyalah alat. Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat tetap rentan menjadi korban. Banyak pengguna tidak bisa membedakan mana aplikasi pinjol resmi dan mana yang abal-abal. Mereka tergoda janji manis pinjaman tanpa syarat dan akhirnya terjebak dalam bunga mencekik dan teror penagihan.
Maka, literasi digital harus dipandang sebagai benteng pertahanan pertama. Edukasi publik harus menjadi prioritas utama, bukan pelengkap. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Kominfo perlu hadir lebih aktif, tidak hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai penggerak gerakan literasi. Bayangkan jika tersedia pusat data pinjol legal yang mudah diakses melalui aplikasi—dilengkapi mekanisme pelaporan cepat, bahkan mungkin dengan chatbot pengaduan digital.
Pembetukn Satgasus
Selain itu, saya mengusulkan pembentukan satuan tugas khusus perlindungan konsumen digital di sektor keuangan, yang bekerja lintas instansi dan didukung oleh teknologi pemantauan otomatis. Jika industri perbankan memiliki fraud detection system yang andal, maka industri pinjol—yang berbasis daring dan tanpa tatap muka—justru harus memiliki sistem yang lebih canggih lagi.
Saya percaya, gelombang kejahatan digital akan terus berubah mengikuti perkembangan teknologi. Satu-satunya cara untuk tetap unggul adalah dengan pendekatan holistik: regulasi yang adaptif, teknologi yang mutakhir, dan masyarakat yang cakap secara digital.
Dengan sinergi itulah, Indonesia bisa membangun ekosistem pinjol yang aman, sehat, dan berdaya lindung tinggi terhadap warganya. ***
* Penulis adalah pendiri Dahlan Consultant, konsultan keuangan yang aktif dalam advokasi literasi digital dan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.