BERITABUANA.CO, JAKARTA — Krisis gagal bayar (galbay) pinjaman online kini memasuki fase darurat sosial. Konsultan keuangan Asep Dahlan mengingatkan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) untuk tidak lagi menggunakan pendekatan tambal sulam. Ia menilai, rendahnya literasi keuangan dan minimnya tanggung jawab sosial dari industri pinjol telah memicu gelombang tragedi kemanusiaan yang kian mengerikan.
“Kalau edukasi finansial hanya jadi formalitas, maka tragedi akibat pinjol ini akan terus berulang. Jangan tunggu lebih banyak rakyat stres, keluarga hancur, bahkan nyawa melayang. Literasi bukan slogan — itu kebutuhan darurat,” tegas Asep Dahlan dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (15/6/2025).
Galbay Naik Drastis, Tanda Peringatan Diabaikan
Statistik dari OJK menunjukkan lonjakan tajam dalam tunggakan pinjaman online. Hingga April 2025, total pinjaman bermasalah (TWP90) — atau tunggakan lebih dari 90 hari — tembus Rp21,3 triliun, naik dari Rp16,7 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Tingkat wanprestasi melonjak dari 2,84% menjadi 4,17% hanya dalam setahun.
Grafik Tren Gagal Bayar Pinjaman Online (TWP90)
Sumber: OJK, Statistik Fintech Lending 2023–2025
Tahun TWP90 (Rp Triliun) Persentase Galbay
- 2023 Apr 13,2 2,41%
- 2024 Apr 16,7 2,84%
- 2025 Apr 21,3 4,17%
“Angka ini bukan sekadar statistik. Ini alarm keras dari lapisan bawah masyarakat yang tertekan secara ekonomi, namun tidak dilindungi oleh edukasi yang memadai,” ujar Asep Dahlan, yang juga pendiri Dahlan Consultant.
Dari Stres Hingga Pembunuhan, Jerat Pinjol Jadi Krisis Kemanusiaan
Menurut Asep, utang digital telah melampaui dimensi ekonomi dan berubah menjadi krisis multidimensi: sosial, psikologis, dan keamanan publik.
Ia mengutip beberapa kasus nyata, seperti di Jawa Tengah: Seorang ibu rumah tangga bunuh diri setelah diteror oleh debt collector pinjol atas utang anaknya. Surabaya: Karyawan swasta alami gangguan jiwa setelah terjerat 7 pinjol sekaligus.
Jakarta: Seorang pemuda membunuh driver ojek online demi merampok, karena frustrasi dikejar utang pinjol. “Fintech yang semestinya jadi alat bantu ekonomi kini berubah jadi alat pemusnah diam-diam. Ini bukan hanya soal gagal bayar — ini bom waktu sosial,” kata Asep Dahlan.
OJK Akui Ketimpangan: Akses Cepat, Literasi Lambat
Dalam konferensi pers Mei 2025, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Keuangan OJK, Hasan Fawzi, mengakui bahwa pertumbuhan pinjol tidak dibarengi peningkatan pemahaman publik. “Masyarakat tak hanya harus mudah mengakses, tapi juga harus memahami risikonya,” ujar Hasan.
Namun Asep Dahlan menganggap pernyataan itu belum cukup. Ia menyerukan intervensi yang lebih terstruktur, masif, dan menyentuh rumah tangga secara langsung.
“Harus ada kurikulum digital finansial di sekolah, pelatihan komunitas pekerja, dan edukasi RT/RW berbasis kasus. Jangan biarkan masyarakat dibiarkan sendiri melawan sistem yang rakus,” tambahnya.
AFPI Jangan Cuma Hitung Bunga
Ia juga menyoroti peran AFPI yang menurutnya terlalu fokus pada aspek teknis dan laba, namun minim tanggung jawab sosial. “AFPI harus keluar dari zona nyaman. Jangan cuma jadi fasilitator di saat transaksi lancar, tapi menghilang saat masyarakat terjerat. Jika tidak sanggup mendidik, beri ruang pada pihak ketiga yang independen,” tegas Asep Dahlan.
Empat Solusi Konkret: Jangan Tunggu Semuanya Meledak
Asep Dahlan mengusulkan langkah nyata agar negara dan industri tidak hanya bereaksi ketika krisis meledak, melainkan mencegahnya sejak dini:
1. Pusat Edukasi Konsumen Digital di tiap kota besar, didirikan oleh OJK dan AFPI.
2. Platform Mediasi Independen untuk kasus gagal bayar yang transparan dan netral.
3. Kurikulum Literasi Digital Nasional sejak jenjang SMP.
4. Wajib Simulasi Pinjaman lewat video edukasi sebelum setiap transaksi pinjol.
“Kalau ini tidak dilakukan, kita sedang memupuk kehancuran sosial secara sistematis. Negara tidak boleh berkompromi dalam urusan nyawa dan masa depan rakyat,” pungkasnya. (Ery)





