Mafia Tanah Masih Mengintai Hambalang, Petani Desak Menteri ATR/BPN Bertindak

by
Ketua dan Sekretaris Serikat Tani Hambalang (STH), H Daman dan H Badrudin. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA — Sengketa tanah di Desa Hambalang, Kabupaten Bogor, kembali mencuat setelah Serikat Tani Hambalang (STH), sebuah perkumpulan petani penggarap tanah negara, menyuarakan dugaan praktik mafia tanah yang merampas hak garapan mereka selama lebih dari dua dekade. Mereka telah menggarap tanah negara seluas kurang lebih 170 hektare di Blok Cenglow sejak 1997, tanah yang sebelumnya berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT Buana Estate dan telah dibatalkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI pada 15 April 2011 karena dikategorikan sebagai tanah terlantar.

“Kami telah menggarap tanah ini sejak tahun 1997,” ujar H. Badrudin, Sekretaris STH kepada wartawan di Jakarta, Kamis (4/6/2025).

Namun, lanjut Badrudin, persoalan muncul pada 2016, ketika PT Buana Estate menjalin kerja sama pengadaan lahan Hambalang dengan PT Primatama Cahaya Sentosa, anak usaha PT Sentul City Tbk. Perjanjian itu dibuat melalui notaris Suharyo Adinegoro, S.H., yang berkantor di Karawang—bukan di wilayah PPAT Kabupaten Bogor, tempat lokasi tanah berada.

“Padahal lahan itu tidak pernah mereka kuasai dan SHGB PT Buana Estate sudah dibatalkan sejak 2011. Lebih gilanya lagi, notarisnya di luar wilayah. Tapi ini justru dijadikan dasar kerja sama mereka,” kata H. Daman, selaku Ketua STH, menimpalinya.

Pada tahun 2021, PT Prolindo Utama Karya menggugat kepemilikan lahan tersebut dengan dalih bahwa tanah telah dibebaskan dari Yayasan Tirasa pada 1991 hingga 1994. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Cibinong, STH ditarik sebagai turut tergugat.

Ketegangan memuncak saat sidang pembuktian pada 2 April 2022, ketika kuasa hukum PT Buana Estate mengajukan bukti berupa sertifikat HGB Nomor 3037/Hambalang seluas 160 hektare atas nama perusahaan mereka—objek lahan yang secara fisik selama ini dikuasai dan digarap oleh petani STH.

“Ini jelas manipulasi data. Bagaimana mungkin objek yang kami garap bisa diterbitkan sertifikatnya di tengah proses persidangan?” tegas H. Daman.

Hal senada juga dikatakan Badrudin kalau pihaknya telah mengirim surat resmi kepada Ketua PN Cibinong terkait status tanah yang disengketakan. Dalam jawaban resminya, pengadilan menyatakan bahwa PT Buana Estate dan PT Primatama Cahaya Sentosa tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan eksekusi lahan. Alasannya,sertifikat tersebut bersifat declaratoir, bukan executorial, atau dengan kata lain, tidak dapat digunakan untuk memaksa pengosongan lahan.

Praktik Mafia Tanah

Sementara itu, secara terpisah, kuasa hukum PT Prolindo, Agus Widjajanto, menilai kasus ini sebagai bentuk nyata praktik mafia tanah di Indonesia.

“Seperti yang saya katakan dalam diskusi soal mafia tanah di Media Center DPR, mereka bekerja secara kolektif dan terstruktur—dari kepala desa, camat, notaris, oknum BPN, hingga lembaga peradilan. Ini merusak rasa keadilan dan harus menjadi perhatian serius Menteri ATR/BPN, Yusron Wahid,” tegas Agus.

STH berkomitmen untuk mempertahankan hak mereka atas tanah yang telah digarap selama lebih dari 25 tahun, dan mendesak pemerintah pusat, khususnya Kementerian ATR/BPN, agar turun tangan menyelesaikan konflik ini secara adil. (Ery)