Simbiosis Aplikator Daring dan Pengemudi Ojek Daring: “Sapi Perah” Gaya Baru

by
Aksi unjuk rasa para pengemudi Ojol yang menuntut keadilan. (Foto: Istimewa)
Alvito Denova. (Ist)

Oleh: Alvito Denova*

Di era digital, hubungan antara aplikator daring (platform ride-hailing) dan pengemudi ojek daring (driver) kerap digambarkan sebagai bentuk kerja sama modern yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun, jika ditelaah lebih dalam, relasi ini lebih tepat disebut sebagai simbiosis parasitisme terselubung—atau dalam metafora yang lebih tajam seperti “sapi perah” gaya baru.

Memang, awalnya model ini tampak menjanjikan, karena dari pihak plikator menawarkan platform dan akses ke pasar, sementara pengemudi menyediakan jasa dan tenaga. Keduanya saling membutuhkan. Namun, seiring waktu, ketimpangan hubungan ini menjadi semakin nyata, dimana aplikator mengontrol harga, menentukan insentif, bahkan menetapkan rute dan sistem penalti—semua tanpa negosiasi berarti dari pihak pengemudi.

Mari kita lihat bagaimana pola ini bekerja.

Seorang pengemudi ojek daring rata-rata menyelesaikan 15–20 order per hari. Katakanlah satu order bernilai Rp15.000. Dalam sehari, ia bisa menghasilkan sekitar Rp300.000. Tapi dari angka itu, aplikator biasanya mengambil potongan 20–25 persen. Artinya, dari penghasilan harian Rp300.000, aplikator mengambil Rp60.000–Rp75.000 per pengemudi per hari.

Kalikan itu dengan jumlah pengemudi aktif. Di Indonesia, diperkirakan ada lebih dari 2 juta pengemudi ojek daring. Jika hanya separuhnya yang aktif tiap hari (1 juta orang), maka aplikator bisa mengantongi sekitar Rp60 miliar hingga Rp75 miliar per hari hanya dari potongan komisi. Dalam sebulan, itu berarti Rp1,8 triliun hingga Rp2,2 triliun—dan ini belum termasuk pendapatan dari iklan, promosi merchant, dan fitur tambahan lain dalam ekosistem aplikator.

Sementara itu, para pengemudi harus menanggung sendiri semua biaya operasional, mulai bensin, servis motor, cicilan kendaraan, bahkan risiko kecelakaan. Belum lagi tekanan algoritma, jika penilaian buruk atau penolakan order meningkat, mereka bisa dibekukan sementara atau bahkan putus mitra tanpa kejelasan proses.

Di sinilah tampak ketimpangan struktural. Aplikator bertindak sebagai pihak dominan yang mengontrol tarif, mengatur insentif, dan memodifikasi sistem sesuai kepentingannya. Di sisi lain, pengemudi tak punya posisi tawar yang kuat karena tak ada kontrak kerja tetap, perlindungan hukum yang jelas, atau jaminan sosial yang memadai. Mereka diiklankan sebagai “mitra”, tapi diperlakukan bak buruh lepas yang tergantung penuh pada platform.

Inilah bentuk baru dari eksploitasi era digital yang mana relasi kerja yang dibungkus kemasan teknologi dan jargon kebebasan, padahal dalam praktiknya adalah sistem ekstraksi nilai dari keringat pekerja. Para pengemudi menjadi sapi perah yang terus “dipompa” produktivitasnya, sementara aplikator terus mencatat pertumbuhan valuasi dan investasi.

Fenomena ini mencerminkan bentuk kapitalisme digital yang mencolok, dimana penggunaan teknologi untuk mengeksploitasi tenaga kerja yang fleksibel namun rentan. Ironisnya, semua ini dibungkus dengan retorika kebebasan dan kemitraan.

Secara hukum, ini menunjukkan adanya unsur-unsur hubungan kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003 jo. UU Cipta Kerja): ada perintah, pekerjaan, dan upah. Ketika aplikator bisa menonaktifkan akun pengemudi sepihak, memberikan penalti, atau mengatur jam sibuk yang memaksa pengemudi bekerja lebih lama demi insentif, maka hubungan ini seharusnya tidak bisa lagi disebut sebagai kemitraan sejajar.

Ketidakjelasan Status Hukum Pengemudi

Saat ini, pengemudi ojek daring berada dalam “ruang abu-abu hukum”. Mereka bukan pekerja formal, tapi juga bukan sepenuhnya wiraswasta. Status ini membuat mereka tidak memiliki akses terhadap perlindungan minimum seperti BPJS Ketenagakerjaan, asuransi kecelakaan kerja, atau jaminan hari tua. Padahal, dalam kenyataannya, risiko kerja mereka tinggi: kecelakaan lalu lintas, tekanan kerja berjam-jam, dan ketidakpastian pendapatan.

Bahkan Mahkamah Agung dalam beberapa putusan di negara lain—seperti Inggris (kasus Uber vs Aslam) dan Belanda—sudah menyatakan bahwa pengemudi ojek daring harus diakui sebagai pekerja dengan hak-hak ketenagakerjaan. Indonesia masih tertinggal dalam hal ini, karena belum ada regulasi khusus yang secara tegas mengatur status hukum pekerja ekonomi digital.

Negara Absen, Kapitalisme Algoritmik Merajalela

Ketiadaan regulasi yang jelas memberi ruang bagi aplikator untuk memaksimalkan keuntungan tanpa tanggung jawab sosial. Dengan mengambil potongan 20–25 persen dari setiap perjalanan, aplikator mengantongi miliaran rupiah per hari dari jutaan pengemudi. Namun, keuntungan ini tidak pernah dikembalikan dalam bentuk perlindungan atau investasi pada kesejahteraan pengemudi.

Di sisi lain, negara terlihat pasif. Regulasi yang ada masih bersifat sektoral dan belum menjangkau kerangka kerja digital secara menyeluruh. Kementerian Ketenagakerjaan belum mengklasifikasikan secara eksplisit jenis hubungan kerja di platform daring, sementara Kementerian Perhubungan lebih fokus pada aspek teknis transportasi. Akibatnya, tanggung jawab hukum terpecah dan pengemudi berada dalam celah yang tidak terlindungi.

Jalan ke Depan, Mengembalikan Martabat Kerja

Sudah saatnya Indonesia mengikuti jejak negara-negara lain yang mulai merevisi hukum ketenagakerjaan untuk memasukkan pekerja platform digital sebagai subjek perlindungan. Negara perlu mendorong:

1. Definisi hukum baru untuk “pekerja digital” yang mengakui relasi kerja terselubung dengan aplikator.

2. Kewajiban kontribusi aplikator terhadap jaminan sosial dan keselamatan kerja pengemudi.

3. Batas komisi maksimum, agar penghasilan pengemudi tidak terus tergerus algoritma dan strategi komersial.

4. Transparansi algoritma, karena algoritma telah menjadi “majikan tak kasatmata” yang menentukan rezeki pengemudi setiap hari.

Di tengah geliat ekonomi digital, kita tidak bisa terus membiarkan jutaan pengemudi bekerja tanpa perlindungan hukum yang layak. Mereka bukan sekadar titik-titik di peta aplikasi. Mereka adalah manusia yang punya keluarga, punya risiko, dan punya hak untuk diakui sebagai pekerja yang bermartabat. Dan sampai negara hadir untuk mengatur itu, maka yang terjadi hanyalah satu hal, yakni aplikator akan terus memerah mereka sebagai sapi perah gaya baru, atas nama teknologi dan efisiensi.

Untuk keluar dari pola ini, dibutuhkan regulasi yang adil, keberanian kolektif para pengemudi untuk bersuara, serta kesadaran publik akan nilai sebenarnya dari kerja manusia di balik aplikasi.

Salam Ojol, salam perjuangan…! ***

* Penulis adalah Mahasiswa Manajemen S1- Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pamulang.

Sumber:
https://www.kedaipena.com/dpr-klaim-akan-buat-regulasi-baru-tampung-aspirasi-driver-ojol/

https://www.melintas.id/news/345949080/netty-aher-desak-regulasi-jelas-untuk-ojol-tak-boleh-lagi-ada-pengemudi-jadi-korban-kebijakan-aplikator-yang-merugikan

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7921197/gojek-grab-buka-bukaan-soal-potongan-komisi-aplikasi-yang-dituntut-ojol