DEDI MULYADI, Gubernur Jawa Barat, adalah sosok yang tak asing di media sosial. Gaya komunikasinya yang langsung, naratif, dan emosional menjadikannya cepat dikenal publik sebagai pemimpin yang “dekat dengan rakyat.” Banyak yang menyebutnya sebagai “Gubernur Konten”, julukan yang muncul seiring banyaknya aktivitasnya yang terdokumentasi secara intens di platform seperti TikTok dan Instagram.
Di satu sisi, strategi ini mencerminkan bentuk komunikasi politik modern—di mana pemimpin dituntut untuk hadir langsung di ruang digital yang menjadi pusat perhatian publik. Pendekatan ini membuat isu-isu lokal yang selama ini luput dari perhatian menjadi lebih terekspos. Dalam konteks ini, konten menjadi medium keterlibatan yang efektif, sekaligus sarana membangun citra.
Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa komunikasi digital yang masif dapat menggeser esensi kepemimpinan: dari kerja substantif ke kerja simbolik. Sebagian pihak menilai bahwa fokus pada pencitraan bisa berujung pada kebijakan yang tidak berbasis data atau kajian mendalam, melainkan lebih didorong oleh keinginan untuk viral dan simpati sesaat.
Hal ini tampak dalam kebijakan pengiriman siswa bermasalah ke barak militer, salah satu program yang menuai sorotan luas. Gagasan tersebut ditujukan untuk menanamkan kedisiplinan pada siswa yang terlibat perilaku menyimpang seperti tawuran atau kecanduan game. Menurut Dedi Mulyadi, langkah ini adalah bentuk pembinaan agar anak-anak kembali ke jalur pendidikan yang benar.
Namun, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Komnas HAM dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti potensi pelanggaran terhadap hak anak, serta risiko psikologis yang mungkin ditimbulkan oleh pendekatan militeristik terhadap siswa. Para pengamat pendidikan juga mempertanyakan efektivitasnya, mengingat akar masalah pelajar bermasalah biasanya lebih kompleks—terkait kondisi keluarga, tekanan sosial, hingga ketimpangan akses pendidikan.
Secara objektif, kebijakan ini mengandung niat baik, yakni membina generasi muda agar lebih disiplin dan bertanggung jawab. Namun implementasinya perlu dibarengi dengan kerangka hukum yang jelas, pendekatan psikologis, dan partisipasi berbagai pihak, mulai dari sekolah, keluarga, hingga tenaga profesional. Tanpa itu, kebijakan berpotensi menjadi simbolik semata, atau bahkan kontraproduktif.
Kesimpulannya, Dedi Mulyadi menghadirkan gaya kepemimpinan yang khas: komunikatif, populis, dan sangat visual. Ia berhasil menjangkau masyarakat melalui medium digital secara efektif. Namun untuk membangun warisan kepemimpinan yang berkelanjutan, substansi kebijakan tetap menjadi tolok ukur utama. Di sinilah tantangannya—mengubah konten menjadi dampak, dan popularitas menjadi kemaslahatan.
*Rizky Tarmasi* – (Pengamat Komunikasi Politik)