Oleh: Agus Widjajanto (Praktisi hukum, pemerhati masalah sosial, politik, hukum, dan sejarah bangsa)
MELIHAT fenomena dalam masyarakat yang dipertontonkan di media sosial, media massa—baik elektronik maupun visual—terjadi kasus-kasus korupsi yang telah diungkap oleh Kejaksaan Agung maupun KPK begitu memprihatinkan. Kita merasa risau dan prihatin dengan kondisi bangsa saat ini, di mana justru di era reformasi berbagai lini mengalami degradasi moral, baik dalam penegakan hukum, kehidupan politik, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Korupsi semakin masif dan terstruktur. Bahkan, investor asing merasa terganggu dengan maraknya praktik premanisme dan ketidakadilan yang telah menjadi bagian dari bangsa. Padahal, era reformasi diharapkan membawa perbaikan. Namun, setelah 27 tahun, justru semua lini kehilangan arah: kemana sebenarnya bangsa ini hendak menuju? Bangsa ini memerlukan papan, sandang, pangan murah, pendidikan murah, dan keamanan yang terjamin.
Belajar dari sejarah masa lalu saat di Bumi Pertiwi ini berdiri kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, seperti pada abad ke-7 hingga ke-9 ketika berkuasanya Kerajaan Medang Mataram Hindu di Jawa Tengah:
Kerajaan Mataram Hindu, juga dikenal sebagai Mataram Kuno, berdiri di Jawa Tengah sekitar abad ke-7 Masehi. Berikut beberapa fakta tentang masa kejayaan Mataram Hindu di Jawa Tengah:
Letak dan Wilayah: Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah, yang disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan seperti Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu, serta dialiri sungai-sungai seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, dan Sungai Bengawan Solo.
Pendiri dan Dinasti: Pendiri Kerajaan Mataram Kuno adalah Raja Sanjaya dari Wangsa Sanjaya yang menganut agama Hindu. Kemudian, Wangsa Syailendra yang beragama Buddha juga pernah berkuasa, dan terakhir Wangsa Isana yang didirikan oleh Mpu Sendok.
Raja-Raja Terkenal:
– Sanjaya (pendiri Wangsa Sanjaya)
– Rakai Panangkaran (awal Wangsa Syailendra)
– Rakai Pikatan (awal kebangkitan Wangsa Sanjaya)
– Mpu Sendok (pendiri Wangsa Isana dan pemindah kerajaan ke Jawa Timur)
– Dharmawangsa Teguh (akhir Kerajaan Medang)
Peninggalan: Kerajaan ini meninggalkan banyak peninggalan seperti candi (Borobudur, Sewu, Prambanan), prasasti (Canggal, Kalasan, Mantyasih), dan lainnya.
Keruntuhan: Kerajaan Mataram Kuno runtuh pada abad ke-11 Masehi akibat serangan dari Kerajaan Sriwijaya dan konflik internal.
Demikian juga setelah berpindah ke Jawa Timur yang dipelopori oleh Mpu Sendok, berdirilah Kerajaan Kediri hingga Singosari yang sanggup meluaskan wilayahnya di Asia Tenggara. Namun semuanya juga hancur dari dalam karena pemberontakan. Terakhir, Majapahit runtuh setelah Perang Paregreg, ketika Majapahit Barat dan Majapahit Timur saling serang, mengakibatkan runtuhnya kerajaan terbesar di Nusantara pada abad ke-14 Masehi.
Belajar dari sejarah masa lalu bahwa bangsa ini bisa runtuh karena digerogoti dari dalam, bukan oleh invasi militer dari luar, tapi diciptakan sendiri oleh para anak bangsa yang telah kehilangan jati diri dan moral, yang segalanya berorientasi pada kepentingan materi.
Menurut penulis, untuk mengembalikan jati diri bangsa sebagai bangsa Timur yang sangat beradab dan berkeadilan, sesuai cita-cita para pendiri bangsa (Founding Fathers), langkah awal adalah membenahi akar permasalahan dari bawah, yakni kesejahteraan rakyat: ciptakan papan, sandang, pangan murah dan keamanan yang terjamin seperti pada masa Orde Baru. Lalu perbaiki sistem ketatanegaraan, di mana sejak awal negeri ini dibentuk oleh para pendiri bangsa dengan sistem perwakilan, yaitu:
– DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) sebagai representatif secara politis untuk mengontrol eksekutif.
– MPR RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia) sebagai representatif fungsional ketatanegaraan yang memberikan arah tujuan kepada eksekutif (Chief of Government), sebagai lembaga perwakilan kedaulatan rakyat.
Hal ini sesuai Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelum diamandemen yang berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan sepenuhnya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Tanpa mengembalikan fungsi dan kewenangan MPR RI sesuai Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 yang lama, negara ini selalu tidak jelas kemana arah yang akan dituju dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Pada pidato pandangan umum dalam rapat BPUPKI, pendiri bangsa Moh. Yamin menyatakan, “Bahwa untuk mencapai negara yang baru, perlu dibentuk lembaga Majelis Permusyawaratan yang menampung seluruh aspirasi rakyat secara nasional yang terdiri dari unsur parlemen, utusan daerah, serta utusan golongan, sebagai manifestasi suara seluruh rakyat.”
Ini telah dilupakan oleh generasi muda yang seharusnya belajar dari sejarah berdirinya bangsa.
Yang kedua, benahi sistem pendidikan dasar. Di tingkat SD, dari kelas satu hingga tiga, khusus diajarkan budi pekerti dan rasa tanggung jawab moral sebagai fitrah manusia. Ajarkan budaya bangsa seperti halnya Jepang dan Indonesia pada tahun 1970-an saat Orde Baru membangun SD Inpres dan biaya sekolah sangat murah. Ini merupakan langkah awal mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran orang tua juga penting dalam menciptakan generasi bangsa yang maju, dengan menanamkan rasa nasionalisme, memberikan contoh yang baik, kejujuran, dan kerja keras. Semua itu hanya bisa tercipta jika papan, sandang, pangan murah tersedia dan keamanan serta stabilitas politik terjaga.
Langkah ketiga, benahi sistem pendidikan menengah dan tinggi dengan memperbanyak pelajaran Pancasila. Benahi juga sistem penerimaan pegawai negeri dan penegak hukum—polisi, kejaksaan, dan kehakiman—di pusdiklat-pusdiklat. Pilih anak bangsa terbaik dengan penerimaan gratis tanpa biaya dan tanpa sogokan, sehingga melahirkan penegak hukum yang berintegritas.
Yang keempat, tiru model KPK Hongkong tahun 1980-an. Ganti semua penegak hukum yang tidak beres, libatkan lembaga independen untuk melakukan investigasi menyeluruh, termasuk menelusuri jejak putusan, penyidikan, dan penuntutan.
Yang kelima, lakukan transplantasi hukum dengan mengganti model sistem juri seperti dalam hukum Anglo-Saxon (Inggris dan AS). Dalam peradilan pidana, hakim hanya sebagai moderator jalannya persidangan, dan juri yang dipilih dari masyarakat secara acak bertindak sebagai pemutus.
Terapkan hukuman mati terhadap koruptor yang jelas terbukti merugikan keuangan negara dan masyarakat secara masif. Negara harus tegas dalam keadaan darurat ini.
Untuk Kamtibmas, pilih pejabat yang berani mengambil keputusan melindungi rakyat dari ketidakamanan agar dunia internasional, termasuk investor asing, tidak melabeli negeri ini sebagai “negara mafia.” Ketidakpastian dan sistem perizinan yang korup membuat investor kabur ke negara lain.
Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi setidaknya letakkan dasar-dasar perubahan. Bangun negeri ini bukan hanya secara jasmani, tapi juga rohani. Di sinilah peran agama, budayawan, negarawan, politikus, dan penguasa sangat penting untuk menjadi tulang punggung perubahan menuju Indonesia Maju, seperti kejayaan Orde Baru yang menjadi macan Asia dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi, melebihi Jepang, Korea Selatan, dan Singapura saat itu.
Sayang, kesinambungan pembangunan yang sudah dirancang pemerintahan Orde Baru melalui Repelita dan pembangunan jangka menengah-panjang dalam GBHN justru diruntuhkan. Desain ketatanegaraan diubah sehingga tak ada lagi petunjuk arah dan tujuan nasional ke depan. Ini menjadi pelajaran mahal yang harus ditebus bangsa ini.
Apabila kondisi saat ini juga belum menyadarkan kita, mungkin hukum alam yang akan menjadi hakim paling adil bagi negeri tercinta ini. ***