BERITABUANA.CO, KALTIM – Aktivitas tambang batu galian C ilegal di wilayah Wahau dan Kombeng, Kabupaten Kutai Timur, kembali marak dan semakin terbuka dilakukan. Setelah sempat berhenti beberapa waktu, kini beberapa titik kembali beroperasi secara aktif.
Dalam pantauan awak media, Senin (28/4/2025) terlihat jelas sejumlah alat berat serta truk pengangkut batu beroperasi di lokasi yang diduga kuat berada di kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK).
Tambang tersebut diduga dikelola oleh oknum pengusaha yang bergerak di balik layar. Sejauh ini, tidak terlihat adanya upaya penertiban dari aparat penegak hukum (APH) maupun dari pihak GAKKUM (Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Kondisi ini membuat warga semakin bingung dan mempertanyakan keberpihakan aparat terhadap kelestarian lingkungan dan hukum yang berlaku.
Kegiatan tambang terlihat dilakukan secara masif dan menggunakan alat berat jenis Exavator dan lainnya. Selain merusak lingkungan, aktivitas ini juga menyebabkan polusi udara akibat debu yang ditimbulkan dari lalu lintas truk pengangkut batu. Warga yang tinggal di sekitar lokasi, tepatnya di wilayah Wahau dan Kombeng, mengeluhkan terganggunya kenyamanan dan kekhawatiran terhadap dampak kerusakan hutan.
Penambangan ini berada di kawasan tersembunyi, sekitar tiga kilometer dari jalan poros utama, dan berada masuk dari kebun sawit hingga ke wilayah hutan. Diduga kuat, lokasi tersebut masuk dalam kawasan KHDTK, yang semestinya dijaga dari aktivitas penambangan tanpa izin.
Ketiadaan tindakan tegas dari pihak berwenang diduga menjadi penyebab utama semakin beraninya pelaku tambang ilegal beroperasi. Warga menilai aparat tutup mata dan terkesan membiarkan, sehingga aktivitas ilegal ini terus berlangsung dan merugikan masyarakat dan ekosistem setempat.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, disebutkan dalam Pasal 158 bahwa:
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi (IUP, IUPK, IPR, atau SIPB) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”
Selain itu, Pasal 161 juga menyebutkan sanksi pidana terhadap pihak yang menampung, memanfaatkan, mengolah, atau menjual hasil tambang ilegal.
Warga mendesak agar aparat kepolisian dan GAKKUM segera menertibkan aktivitas penambangan ilegal ini. Mereka meminta agar penambang serta oknum yang terlibat segera ditindak sesuai hukum yang berlaku. Selain itu, warga juga berharap agar media turut mengangkat isu ini ke ranah publik agar mendapat perhatian serius dari pemerintah.
“Kami lelah melihat pembiaran ini. Polisi dan GAKKUM harus bertindak sebelum kerusakan semakin parah dan masyarakat semakin dirugikan,” tegas salah seorang warga setempat. Oisa