Rumah ‘Raja Minyak’ Riza Chalid Digeledah, Terkait Kasus Dugaan Korupsi Rugikan Negara Rp 193,7 Triliun

by
Gedung Bulat Kejakgung RI.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menjelaskan, bahwa pihak sudah melakukan penggeledahan di salah satu rumah ‘Raja Minyak’ Riza Chalid yang juga mantan bos Petral, di Jalan Jenggala II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Penggeledahan juga dilakukan di Lantai 20 Plaza Asia, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. “Mengenai rumah siapa yang digeladah, sudah dijelaskan tadi oleh Pak Direktur Penyidikan (Abdul Qohar). Nah, kita harapkan penggeledahan ini akan membuat semakin terang, membuka tabir tindak pidana yang sedang berproses saat ini,” jelas Harli, Selasa (25/2/2025).

Tim penyidik Jampidsus juga sudah melakukan kegiatan hukum serupa di sejumlah lokasi. “Sudah empat kali penyidik pada Jampidsus melakukan penggeledahan. Dan tadi (Senin) malam, penggeledahan juga dilakukan di tujuh tempat yang berbeda-beda,” beber Harli.

Di antaranya, penggeledahan di salah-satu rumah di kawasan Bintaro dan di perkantoran di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Juga dilakukan di salah satu rumah yang berada di wilayah Pondok Aren, Jakarta Selatan.

“Ada juga dilakukan penggeledahan di rumah yang berada di daerah Cimanggis, dan rumah dinas di Cilandak. Juga penggeledahan yang dilakukan di rumah yang berada di kawasan Kebayoran Lama, juga di Keluruhan Cipete Selatan,” jelas Harli.

Menurut Harli, penggeledahan serempak di tujuh lokasi tersebut terkait dengan penetapan tujuh tersangka korupsi ekspor impor minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina. Kasus yang terjadi sepanjang 2018-2023 itu merugikan keuangan negara Rp 193,7 triliun.

Terkait penggeledahan, penyidik menyita sejumlah uang berupa 20 lembar uang pecahan 1.000 dolar Singapura. Dan penyidik juga menemukan uang sebanyak dua ratus lembar pecahan 100 dolar AS dan uang 4.000 lembar pecahan Rp 100 ribu dengan total Rp 400 juta.

“Penggeledahan ini akan terus berkembang,” jelas Harli.

Dalam kasus yang merugikan negara Rp 193,7 triliun Kejagung telah menetapkan 7 tersangka pada Senin (24/2/2025) kemarin. Ke7 tersangka itu masing-masing, Gading Ramadhan Joedo (GRJ) Komisaris PT Jengga Maritim; Riva Siahaan (RS), selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Sani Dinar Saifuddin, selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; Yoki Firnandi (YF), selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping.
Lalu, Agus Purwono (AP), selaku VP; Feedstock Management PT Kilang Pertamina International; Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR), selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa; dan Dimas Werhaspati, (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.

Ketujuh tersangka ditetapkan usai gelar perkara pada Senin, 24 Februari 2025 kemarin. Para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP.

Adapun kasus ini berawal dari pemenuhan pasokan minyak mentah dalam negeri, yang wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Abdul Qohar mengatakan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan di Dalam Negeri.

“Namun berdasarkan fakta penyidikan yang didapat, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengondisian dalam Rapat Optimalisasi Hilir atau OH yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya,” kata Qohar.

Akibatnya, pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor. Qohar mengatakan saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan berbagai fakta.

Pertama, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range harga atau harga perkiraan sendiri (HPS).

Kedua, produksi minyak mentah KKKS ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan spek.

“Namun faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai dengan spek kilang dan dapat diolah atau dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya,” jelas Qohar.

Qohar menyebut atas tindakan itu kerja sama antara pemerintah dengan pihak KKKS untuk kerja pelaksanaan ini terbagi. Ada bagian minyak yang sebagian bagian KKKS dan sebagian bagian negara atau Pertamina. Namun, kualitasnya sama berdasarkan presentase yang disepakati.

Penolakan itu lah menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” jelas Qohar.

Qohar menerangkan saat KKKS mengekspor bagian minyaknya karena tidak dibeli oleh PT Pertamina, maka pada saat yang sama PT Pertamina mengimpor minyak mentah dan produk kilang.

Selanjutnya, untuk kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya perbuatan jahat atau mens rea antara penyelenggaraa negara.

“Yaitu tersangka SDS, AP, RS, dan YF bersama dengan demut atau broker yaitu tersangka MK, DW, dan GRJ,” kata Qohar.

Para tersangka melakukan kesepakatan harga bertujuan untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Permufakatan tersebut diwujudkan dengan adanya tindakan atau actus reus pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang.

“Sehingga, seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara mengkondisikan pemenangan DMUT atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan,” katanya.

Qohar membeberkan cara-cara kotor para pelaku. Tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan demut atau broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.

Kemudian, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP, untuk dapat memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi. Lalu, mendapatkan persetujuan dari saudara SDS untuk impor minyak mentah dan dari tersangka RS untuk produk kilang.

Sementara itu, dalam pengadaan produk kilang yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian atau pembayaran untuk RON 92. Padahal, sebenarnya yang dibeli adalah RON 90 atau lebih rendah. Kemudian, dilakukan blending di depo untuk menjadi RON 92. Hal tersebut tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan ketentuan yang ada.

Selanjutnya, saat dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya markup kontrak shipping atau pengiriman yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. Sehingga, negara mengeluarkan fee sebesar 13-15% secara melawan hukum.

“Sehingga, tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” beber Qohar.

Ia melanjutkan saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh oleh produk impor secara melawan hukum, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar, bahan bakar minyak untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal atau lebih tinggi.

“Sehingga, dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi bahan bakar minyak setiap tahun melalui APBN,” pungkas Qohar. (*/Ram)