Oleh: Agus Widjajanto (Praktisi Hukum dan Pemerhati Sosial, Budaya, Politik dan Sejarah Bangsa)
ALIRAN kepercayaan adalah sekelompok orang yang menganut tradisi adat suku tertentu serta kepercayaan yang diyakini dalam spiritualisme, namun tidak diakui sebagai agama resmi. Aliran kepercayaan juga dapat diartikan sebagai keyakinan rohani bahwa segala sesuatu itu benar adanya. Di Nusantara, terdapat banyak ragam aliran kepercayaan, seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, Malim, dan Marapu, yang semuanya berasal dari satu sumber, yaitu agama Kapitayan. Kapitayan merupakan keyakinan para leluhur sejak sebelum Masehi, jauh sebelum datangnya agama-agama besar, baik agama Samawi (Kristen dan Islam) maupun dari Timur (Hindu, Buddha, dan Konghucu).
Aliran kepercayaan berakar pada nilai-nilai yang diyakini oleh nenek moyang serta mengakui adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Walau tidak berdasarkan ajaran agama resmi, konsep Tuhan dalam aliran kepercayaan ini memiliki penyebutan yang berbeda dibandingkan agama-agama besar. Aliran kepercayaan lebih mengutamakan penghormatan kepada roh nenek moyang, dengan keyakinan bahwa roh tersebut dapat “manitis” (lahir kembali) untuk memperbaiki karma kehidupan sebelumnya, melalui rahim keturunannya.
Sebagai sebuah bangsa yang sejak awal terdiri dari berbagai etnis, suku, ratusan bahasa daerah, serta beragam ras, agama, dan kepercayaan, Indonesia lahir dari semangat persatuan yang bertujuan mencapai masyarakat adil dan makmur. Namun, dalam perjalanannya, terjadi berbagai gesekan sebagai bagian dari proses demokratisasi. Bahkan, ada masa di mana segolongan masyarakat dengan mudah mengkafirkan golongan lain yang berbeda keyakinan. Padahal, berdasarkan konstitusi dan dasar negara yang disepakati oleh para pendiri bangsa, Indonesia bukanlah negara agama, melainkan negara kesatuan yang melindungi seluruh masyarakat dalam menjalankan agama dan kepercayaannya.
Sejarah Aliran Kepercayaan di Nusantara
Membicarakan agama dan kepercayaan di Nusantara, khususnya di Jawa, tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa ini. Para ahli meyakini bahwa ribuan tahun yang lalu, sebelum masuknya agama-agama besar dari luar, telah ada peradaban besar di Nusantara yang diduga berasal dari sebuah daratan luas bernama “Sunda Land.” Daratan ini tenggelam akibat mencairnya es di kutub utara, menyebabkan banjir besar yang membentuk ribuan pulau di Nusantara. Penelitian dari Stephen Oppenheimer (1998) menghubungkan fenomena ini dengan kisah banjir besar Nabi Nuh dalam kitab-kitab suci agama Samawi.
Sebelum terbentuknya bangsa Indonesia, para ahli geologi juga memperkirakan adanya sebuah benua bernama “LeMuria” yang tenggelam jauh sebelum peradaban Atlantis. LeMuria diyakini sebagai peradaban tinggi dengan penguasaan teknologi maju yang hidup sekitar 75.000 – 11.000 SM, berpusat di wilayah Gunung Muria (Jawa Tengah) hingga Priangan (Jawa Barat). Hingga saat ini, aliran-aliran kepercayaan yang berasal dari tradisi nenek moyang masih dianut oleh masyarakat, meskipun tidak diakui sebagai agama resmi.
Ragam Aliran Kepercayaan di Nusantara
1. Kejawen
Kejawen merupakan hasil perpaduan berbagai kepercayaan dan agama yang datang ke Jawa dengan ajaran asli masyarakat Jawa, yakni Kapitayan. Sebelum agama Hindu, Buddha, Kristen, dan Islam masuk, masyarakat Jawa telah menganut kepercayaan Kapitayan, yang dalam perkembangannya sering disalahpahami sebagai animisme dan dinamisme. Penganut Kejawen sangat taat menjalankan ajaran dan menjauhi larangan yang bertentangan dengan kepercayaan mereka.
2. Sunda Wiwitan
Sunda Wiwitan merupakan sistem nilai dan ajaran kebudayaan yang berkembang di tanah Sunda sebelum kedatangan Hindu dan Buddha. Kepercayaan ini mengajarkan bahwa alam semesta hanyalah titipan, sehingga tidak boleh dieksploitasi, serta pentingnya hidup selaras dengan alam dan rukun dengan sesama. Penganut Sunda Wiwitan masih dapat ditemukan di daerah Banten (Suku Baduy), Kampung Naga (Cirebon), dan Cigugur (Kuningan).
3. Marapu
Marapu adalah kepercayaan lokal masyarakat Pulau Sumba yang diwariskan secara turun-temurun. Mereka percaya bahwa dunia ini hanya sementara, sementara kehidupan kekal berada di alam roh. Penganut Marapu memuja roh leluhur yang disebut “Marapu,” yang berarti “Yang Dimuliakan.”
4. Malim
Di Sumatera Utara, tepatnya di tanah Batak, terdapat kelompok yang tetap teguh menganut agama leluhur mereka, yaitu Malim. Penganut kepercayaan ini disebut Parmalim, yang hingga kini masih menjalankan ritual-ritual keagamaan mereka.
5. Kaharingan
Kaharingan adalah kepercayaan asli masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah yang telah ada ribuan tahun sebelum kedatangan agama-agama besar dari Timur maupun Barat. Kepercayaan ini menekankan hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Karena kebijakan negara yang hanya mengakui enam agama resmi, aliran-aliran kepercayaan ini dikategorikan sebagai adat, budaya, atau kepercayaan leluhur, padahal sejatinya itulah agama mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemerintah memberikan perhatian dan mempertimbangkan pengakuan resmi terhadap aliran-aliran kepercayaan ini, sesuai dengan hakikat kebebasan beragama dalam sila pertama Pancasila.
Tuhan dalam Agama Kapitayan
Dalam kepercayaan Kapitayan, Tuhan disebut “Sang Hyang Taya,” yang berarti “kosong” atau “suwung,” sebuah konsep yang mirip dengan Tuhan dalam agama-agama Samawi yang tak berwujud namun Mahakuasa. Ajaran ini diwariskan secara turun-temurun tanpa kitab suci tertulis, tetapi dipraktikkan dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa.
Penyebar utama agama Kapitayan dipercaya sebagai Dang Hyang Semar, keturunan Sang Hyang Ismoyo dari bangsa LeMuria. Ia diyakini sebagai nabi orang Jawa yang pernah bersemayam di wilayah Gunung Muria hingga Gunung Lawu dan Lembah Gunung Tidar (Magelang, Jawa Tengah).
Masyarakat Jawa kuno tidak sekadar menganut animisme dan dinamisme, tetapi sudah memiliki kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang luar biasa. Mereka memahami konsep Ketuhanan dalam bentuk “Tan Keno Kinoyo Ngopo,” yakni Tuhan yang tidak bisa digambarkan tetapi kehadirannya selalu dirasakan.
Perjalanan Sejarah Bangsa
Perjalanan sejarah bangsa ini membuktikan bahwa Nusantara memiliki peradaban besar dan kepercayaan yang tinggi sebelum kedatangan agama-agama besar. Orang Jawa, khususnya penganut Kejawen, mencari “suwung” atau “susuhing angin” untuk memahami Tuhan yang Esa, sebagaimana konsep “Manunggaling Kawulo lan Gusti” dalam tasawuf Jawa yang dikembangkan oleh Syeikh Siti Jenar hingga Ronggowarsito.
Seperti yang diungkapkan Jalaludin Rumi, “Selamanya agama lebih dari satu, dua, atau tiga. Selama agama dipolitisasi, pertempuran dan peperangan selalu terjadi.” Pada akhirnya, semua agama dan kepercayaan bermuara pada satu samudra ketuhanan yang sama. Negara ini harus memahami bahwa perbedaan keyakinan bukanlah alasan untuk memecah belah bangsa, tetapi justru menjadi kekayaan yang harus dilindungi dan dihormati sesuai dengan semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Den Anjember dan Momot, lawan Den Mangku, Den Koyo Segoro.
Filosofi ilmu padi, ‘semakin dalam dan berisi, akan semakin merunduk’, karena batangnya tidak mampu menopang buahnya yang telah matang tadi, mati menjadikan diri kita sebagai kawuo-kawulo dari Sang Tuhan Yang Maha Esa, yang perwujudan sesungguhnya adalah seluruh alam semesta, beserta isinya, beserta mahkluknya, dan beserta kalam-kalam ukumnya yang telah ditaburkan kepada wakil-wakilnya. Bukan hanya satu, dua, atau tiga tapi beragam. Itu lah esensi dari manusia yang memang diciptakan untuk bagaimana mempunyai rasa kemanusiaan untuk diabdikan kepada seluruh umat dan alam semesta. Berbuat baik kepada sesama, dan berbuat baik kepada semesta alam. ***





