Radikalisme, Pemahaman Agama, dan Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia

by
Agus Widjadjanto SH Praktisi Hukum. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Widjadjanto*

TIDAK bisa dipungkiri, di tengah masyarakat kita masih ada pemahaman tentang tafsir agama yang menjurus pada radikalisme. Pemahaman ini sering digunakan oleh kelompok tertentu untuk mencapai cita-cita membentuk negara berbasis agama. Sayangnya, kelompok ini lupa akan sejarah berdirinya bangsa Indonesia, yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, kemudian dilanjutkan dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 18 Agustus 1945. Berdasarkan hukum internasional, sebuah negara dianggap sah jika memiliki wilayah teritorial, masyarakat, hukum dasar, pemerintahan yang sah, dan pengakuan dari negara lain. Indonesia memenuhi semua syarat tersebut.

Bangsa ini memiliki sejarah panjang, termasuk pengalaman konflik berbasis agama. Pada abad ke-7 Masehi, di Kerajaan Mataram Kuno, terjadi perseteruan antara Dinasti Sanjaya (Hindu Siwa) yang memerintah di utara dan Dinasti Syailendra (Buddha) yang berkuasa di selatan. Perseteruan ini akhirnya diselesaikan melalui pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dan Pramordhawardhani dari Dinasti Syailendra. Penyatuan ini melahirkan harmoni yang terwujud dalam karya monumental seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

Sejarah juga mencatat bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, toleransi dan harmoni beragama menjadi ciri utama. Hal ini digambarkan dalam Kakawin Negara Kertagama karya Empu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular, yang memperkenalkan semboyan legendaris “Bhinneka Tunggal Ika.” Prinsip ini menunjukkan bahwa meskipun berbeda-beda, bangsa Indonesia bersatu dalam cita-cita bersama.

Pancasila: Fondasi Kehidupan Berbangsa

Ketika Indonesia merdeka, perdebatan mengenai dasar negara berlangsung sengit. Piagam Jakarta, yang awalnya memuat frasa “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya,” kemudian disepakati untuk diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perubahan ini mencerminkan komitmen para pendiri bangsa untuk membangun negara berdasarkan keberagaman, bukan dominasi agama tertentu. Sila pertama Pancasila memiliki makna filosofis yang dalam, yaitu pengakuan bahwa Tuhan adalah satu, dan semua agama adalah jalan untuk mengenal-Nya.

Radikalisme: Kemunduran dalam Berpikir

Sangat disayangkan bahwa hingga kini masih ada kelompok yang berjuang membentuk negara berbasis agama melalui jalan radikalisme. Pemikiran semacam ini adalah kemunduran sejarah, yang mengabaikan esensi keberagaman dan semangat kebersamaan yang menjadi dasar pendirian Indonesia. Seperti yang pernah disampaikan Bung Karno, bangsa ini harus menjadi dirinya sendiri, tidak terjebak pada budaya asing yang membutakan rasa nasionalisme.

Doktrinisasi di Era Digital

Fenomena doktrinisasi yang marak di media sosial menjadi tantangan besar. Golongan tertentu mengklaim kebenaran absolut, merendahkan keyakinan lain, dan menciptakan narasi surga-neraka yang sempit. Padahal, sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan. Negara Indonesia dibangun atas dasar kebersamaan, bukan hegemoni agama tertentu.

Esensi Keberagamaan

Agama seharusnya menjadi pedoman moral untuk meningkatkan rasa kemanusiaan, bukan sekadar alat politik atau ekonomi. Jalaludin Rumi, dalam karyanya Fihi Ma Fihi, menulis bahwa agama tidak akan pernah menjadi satu di dunia ini karena manusia memiliki tujuan dan keinginan yang berbeda-beda. Penyatuan hanya mungkin terjadi di akhirat, di bawah penghakiman Tuhan.

Samudera Keimanan

Rumi juga mengibaratkan agama sebagai sungai yang bermuara ke samudra keimanan. Semua agama memiliki tujuan yang sama, yaitu mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks bangsa Indonesia, keberagaman agama dan kepercayaan diakui dan dilindungi oleh Pancasila, yang menjadi manifestasi dari nilai-nilai keilahian yang universal.

Penutup

Sebagai bangsa yang besar, kita harus terus menghidupi nilai-nilai kemanusiaan, keberagaman, dan toleransi. Filosofi padi yang semakin berisi semakin merunduk harus menjadi pedoman hidup bersama. Alam semesta dan segala isinya adalah perwujudan dari Tuhan Yang Maha Esa, yang mengajarkan kita untuk saling menghormati dan mengasihi sesama makhluk. Keberagaman bukanlah ancaman, melainkan anugerah yang harus dirawat demi kemajuan bangsa dan negara. ***

Penulis adalah Praktisi Hukum/Pemerhati Sosial, Budaya, Politik, dan Hukum.