Pengamat Ingatkan, UU Produk DPR – Pemerintah Menyimpan Banyak Masalah

by
Jeirry Sumampow, TePI.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pengamat pemilu sekaligus Kordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga yudisial yang memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Kewenangan ini diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.

Uji materiil oleh MK tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa setiap UU yang dibuat oleh DPR tidak bertentangan dengan konstitusi.

“Ketika MK masuk ke dalam aspek teknis dari suatu UU dalam proses uji materiil, hal ini bisa dianggap melampaui kewenangan, terutama jika MK dinilai terlibat terlalu jauh dalam penafsiran yang seharusnya menjadi domain pembuat undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah,”kata Jeirry dalam keterangannya, Jumat (30/8/2024) menanggapi pernyataan Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung.

Politikus Partai Golkar ini mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.

“Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK,” kata Doli sebelumnya.

Menurut Doli, salah satu contohnya mengenai pilkada. Seharusnya, kata dia, MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.

Meneruskan pendapatnya, Jeirry Sumampow mengatakan, MK memiliki kewenangan untuk menafsirkan UUD secara lebih luas, yang kadang-kadang memerlukan penilaian atas aspek teknis tertentu agar dapat menentukan apakah suatu UU sesuai atau bertentangan dengan konstitusi.

Oleh karena itu, apakah MK melampaui kewenangannya atau tidak diakui seringkali menjadi perdebatan hukum yang kompleks.

“Namun, saya kira, dalam situasi tertentu yang sifatnya mendesak, memang MK dapat saja masuk ke hal-hal yang sifatnya lebih teknis dalam rangka memberikan kepastian hukum. Sebab jika tidak begitu, maka akan memunculkan persoalan lanjutan yang berpotensi membuat situasi makin tak menentu. Atau akan terjadi ketidakadilan bagi pencari keadilan,” terang dia.

Di samping itu Jeirry menambahkan, harus diakui bahwa UU yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah, menyimpan banyak masalah, seringkali tak sesuai dengan konstitusi dan atau multi tafsir. Akibatnya, tak ada kepastian hukum, khususnya dalam hal implementasinya. Jika begitu, kata Jeirry, maka MK memang harus masuk ke soal yang lebih teknis agar ada pedoman teknis yang bisa jadi acuan untuk implementasinya sesegera mungkin.

Dia tak memungkiri Komisi II DPR RI memiliki tugas dan fungsi di bidang pemerintahan dalam negeri, sekretariat negara, dan kepemiluan. Tetapi diingatkan , Komisi II DPR RI juga bukan mitra MK, tapi Komisi III.

“Jadi, Komisi II atau bahkan DPR secara umum tidak memiliki kewenangan untuk mengevaluasi putusan Mahkamah Konstitusi,” tandasnya.

Lebih jauh dia mengatakan, MK adalah lembaga independen yang keputusannya bersifat final dan mengikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Sesuai dengan Pasal 24C tersebut maka MK adalah lembaga mandiri yang tak boleh diintervensi oleh lembaga lain, termasuk DPR. Dan, kata Jeirry evaluasi itu bisa saja bermakna intervensi.

Meskipun demikian, katanya lagi , DPR sebagai pembuat UU dapat mengkritisi putusan MK, tetapi evaluasi terhadap MK sendiri sebagai lembaga tidak berada dalam wewenang DPR.

Evaluasi terhadap kinerja atau putusan MK sebut dia , tidak bisa dievaluasi oleh lembaga apapun. Apalagi evaluasi tak bisa dilakukan terhadap substansi putusan. Evaluasi hanya bisa dilakukan terhadap etika dan perilaku Hakim MK. Itu bisa dilakukan oleh MKMK jika ada laporan kepadanya. Ini berarti, DPR RI termasuk Komisi II, tak bisa mengevaluasi MK dalam hal ini.

“Namun , DPR bisa melakukan revisi UU yang sudah diuji oleh MK jika dianggap perlu. Dengan catatan, revisi tersebut tidak boleh bertentangan dengan substansi atau norma putusan MK yang telah final dan mengikat itu,”pungkasnya. (Asim)