BERITABUANA.CO, PARIS – Peagkapan CEO Telegram Pavel Durov, mengusik Elon Musk untuk bicara. Miliarder tersebut melontarkan kritikan tajam dengan menyebut penangkapan tersebut sebagai pelanggaran kebebasan berpendapat.
“Liberté Liberté! Liberté?” tulis Musk di akun X personalnya. “Waktu yang berbahaya,” katanya lagi di post lain.
Musk juga menggaungkan tagar #FreePavel ketika ia membagikan sebuah video yang memperlihatkan Durov memuji gerakan Musk untuk menjunjung kebebasan berpendapat dalam wawancara dengan Tucker Carlson awal tahun ini.
“Sangat penting untuk mendukung kebebasan berpendapat, terutama di negara-negara yang mengutamakan penyensoran,” kata Musk di X-nya.
Musk juga me-repost cuitan dari CEO Rumble Chris Pavlovski. Pavlovski mengatakan Prancis sudah keterlaluan karena menangkap Durov, dikutip dari BusinessInsider, Senin (26/8/2024).
Pasca mencaplok Twitter dan mengganti namanya menjadi X, Musk memang berulang kali menyuarakan pentingnya kebebasan berpendapat.
Kendati demikian, Musk sendiri memiliki rekam jejak membungkam opini-opini yang mengkritik dirinya. Misalnya, ia pernah memecat karyawan yang tak setuju dengannya, hingga memblokir akun-akun yang mengkritik dirinya.
Belum ada konfirmasi resmi dari Prancis mengenai penangkapan tersebut. Tetapi dua sumber kepolisian Prancis dan satu sumber Rusia mengatakan, Durov ditangkap tak lama setelah tiba di bandara Le Bourget dengan jet pribadi dari Azerbaijan.
Sebelum kedatangan jet tersebut, polisi telah mengetahui dia ada dalam daftar penumpang dan segera bergerak untuk menangkapnya karena dia menjadi subjek surat perintah penangkapan di Prancis.
Penangkapan
Penangkapan ini merupakan bagian dari investigasi awal yang dipimpin oleh OFMIN (Kantor Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Bawah Umur) Prancis.
Lembaga tersebut telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Durov, dengan menyebutkan tuduhan yang mencakup pencucian uang, perdagangan narkoba, dan penyebaran konten pelecehan seksual anak di Telegram.
Kurangnya moderasi pada Telegram dan dugaan penggunaan oleh kelompok kriminal menjadi masalahnya.
Media berita lokal BFMTV dan TF1 melaporkan bahwa penyelidikan difokuskan pada potensi eksploitasi Telegram oleh entitas kriminal, serta dugaan kegagalan Durov dalam menerapkan langkah-langkah efektif untuk mencegah aktivitas ilegal di Telegram.
Awalnya, Telegram mirip dengan aplikasi chat lainnya, tetapi kemudian berkembang menjadi jejaring sosial tersendiri.
Selain berkomunikasi antar individu, platform ini memungkinkan pengguna dapat bergabung dengan grup yang beranggotakan hingga 200 ribu orang dan membuat “saluran” siaran yang dapat diikuti dan dikomentari oleh orang lain.
Dengan 950 juta pengguna aktif bulanan, Telegram dinilai telah menjadi sumber utama informasi, dan disinformasi, tentang invasi Rusia ke Ukraina, demikian dikutip dari The Guardian.
Telegram menawarkan pesan terenkripsi ujung ke ujung dan memungkinkan pengguna membuat saluran untuk menyebarkan informasi kepada pengikut.
Aplikasi ini sangat populer di bekas Uni Soviet dan banyak digunakan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy, serta politisi di seluruh Ukraina, untuk merilis informasi tentang perang.
Aplikasi ini juga merupakan salah satu dari sedikit tempat warga Rusia bisa mendapatkan informasi tanpa filter tentang konflik tersebut, setelah Kremlin memperketat kontrol media setelah invasi besar-besaran.
Enkripsi yang tampaknya tidak dapat dipecahkan telah menjadikan Telegram surga bagi para ekstremis dan penganut teori konspirasi.
Media Eropa Tengah VSquare mengatakan, Telegram telah menjadi alat andalan propaganda Rusia, baik radikal sayap kiri maupun sayap kanan, QAnon di AS, dan penganut teori konspirasi. Telegram bahkan disebut sebagai ekosistem untuk radikalisasi.
Berbasis di Dubai, Telegram didirikan oleh Durov yang lahir Rusia. Ia meninggalkan Rusia pada tahun 2014 setelah menolak untuk mematuhi tuntutan pemerintah untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosial VK miliknya, yang telah ia jual
Durov saat ini diketahui tinggal di Dubai, tempat Telegram berkantor pusat, dan memegang kewarganegaraan Prancis dan Uni Emirat Arab (UEA).
Ia mengatakan bahwa telah mencoba tinggal di Berlin, London, Singapura, dan San Francisco sebelum memilih Dubai, yang ia puji karena lingkungan bisnis dan “kenetralannya.”
Di UEA, Telegram menghadapi sedikit tekanan untuk memoderasi kontennya, sementara pemerintah barat berupaya menindak tegas ujaran kebencian, disinformasi, penyebaran gambar. (Kds)