‘Sinwar & Sinwar’ Genggam Hamas

by
Sabpri Piliang. (Foto: Dok)

TEORI Dialektika Hegel (1770-1831), menjadikan pembunuhan pemimpin Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh sia-sia. Sia-sia bagi Israel, AS, mediator, dan bagi tercapainya “breakthrough” perdamaian sejati di Timur Tengah.

Suksesi dari tokoh mederat Ismail Haniyeh, kepada tokoh Hamas lainnya Yahya Sinwar. Seperti “memukul batu cadas” dengan paku jendela. Paku itu akan ‘meletot’, dan berkarat. Akhirnya patah.

Sejalan dengan itu, Geog Wilhem Friedrich Hegel yang hidup di zaman, apa yang disebut periode ‘romantisme’ dalam sejarah Eropa, mengajukan “Teori Dialektika”. Teori yang dikemudian hari melahirkan satu ”phrase’ ‘Dialektika: ‘tesis-antitesis-sintesis (sintesa), secara natural telah memunculkan radikalisme.

Hidup sezaman dengan seniman ‘pesohor’ Beethoven dan Goethe, Hegel dalam “Dialektika”, membagi tiga unsur pemikiran yang menjadi sumber radikal. Serta, memiliki pengaruh besar dalam kehidupan bernegara, dan berbangsa di zaman sekarang.

Radikalisme akan terus tumbuh subur, bila Israel salah hitung dalam hal kematian Haniyeh-Aroury. Radikalisme, adalah satu sikap yang lahir dari “kebuntuan’ negosiasi, dan ketidakadilan akut yang berlarut-larut. ‘

Tesis’, persoalan mana Tanah Palestina dan mana Tanah Israel, lalu ‘antitesis’nya perdamaian ‘buntu’, munculah kemudian radikalisme sebagai ‘antitesis’-nya.
Pembunuhan terhadap tokoh “cair” Ismail Haniyeh, menurut Harian Inggris “The Guardian” hari ini (7/8), membuat Presiden AS Joe Biden marah. Sempat menelepon PM Israel Benyamin Netanyahu, Biden tampak dalam tensi tinggi.

Dalam pembicaraan itu, Biden mengingatkan Netanyahu, kematian Haniyeh telah menyabotase upaya gencatan senjata yang tengah diusahakan oleh para mediator. Biden yang berbicara kepada “New York Times” dan Media AS lainnya, nampak kecewa dengan peristiwa ini. Sementara Netanyahu, mengatakan, kematian Haniyeh, akan membuat Hamas tertekan.

Sebagai pengamat Timur Tengah (Middle East), pembunuhan Ismail Haniyeh memiliki tujuan melemahkan ‘spirit’ Hamas. Lewat kematian Haniyeh, kelompok pejuang ini digiring melunak, dan setuju bernegosiasi melepaskan sandera Israel, lewat klausul dan skenario Israel. Selama ini, klausul Israel banyak ditolak Hamas.

Kematian tokoh moderat dan “cair” Ismail Haniyeh, menyusul kematian, juga tokoh moderat Hamas Saleh Al-Aroury (wakil Haniyeh), menjadikan Hamas kini “miskin” tokoh-tokoh moderat.

Praktis, tinggal Khaled Meshaal dan Moussa Abu Marzouk yang sedikit agak cair. Untuk memberi “dissenting” dalam negosiasi-negosiasi Hamas mendatang.

Abu Marzouk sendiri, dua pekan lalu berada di Beijing memenuhi undangan Menlu China Wang Yi, dalam upaya rekonsiliasi bersama 14 Faksi Palestina. Rekonsiliasi ini berhasil menyatakan satu pikiran, menghadapi masa depan Palestina pasca-konflik Gaza.

Khaled Meshaal yang sebelumnya digadang-gadang bakal menggantikan Haniyeh, malah setuju kepemimpinan Hamas beralih ke tokoh “garis keras”, Yahya Sinwar. Meshaal, yang pernah di posisi Yahya Sinwar saat ini (1996-2017/lalu diganti mendiang Haniyeh), ingin akselerasi negosiasi dengan Israel, tetap berada di garis tegas.

Kesepakatan penunjukkan Sinwar, secara simbolik memperlihatkan bahwa Kematian Ismail Haniyeh, tidak akan melemahkan spirit Hamas, dan tetap berada di jalur mundurnya Israel dari Gaza, serta gencatan senjata permanen.

Alumnus Universitas Islam Gaza (studi Arab) ini, lekat dengan sejarah panjang perjuangan bangsa Palestina. Keluarganya terusir dari Al Majdal Asqalan (sekarang wilayah Israel Ashkelon), kurun selama Perang Arab-Israel 1948.

Sinwar sendiri lahir di Kamp Pengungsian Khan Younis (Gaza) tahun 1962.
Sempat menjalani hukuman 22 tahun (1989-2011), Yahya Sinwar yang dituduh membunuh dua tentara Israel, dibebaskan lewat perjanjian pertukaran tawanan.
Berjuang dan menjadi pemimpin “sayap militer” Hamas, Izzeddin Al Qassam, Yahya Sinwar kini menjadi pemimpin Biro Politik Hamas. Satu posisi yang lebih banyak berbicara “software”, dan perkataan diplomatis ketimbang kekerasan sepertihalnya saat memegang kendali sayap militer.

Meskipun begitu, ada kemungkinan. Setelah kematian kepala militer Izzeddin Al Qassam, Mohammad Deif (belum terkonfirmasi Hamas), adik Yahya Sinwar (Mohammed Sinwar) akan memegang kendali “sayap militer” Hamas. Satu Duet; “Sinwar & Sinwar”, tentu akan semakin memperkuat garis perlawanan Hamas. Baik di meja perundingan, maupun di ‘front’ tempur.
Dialektika Hegel, sekali lagi akan menjadi taruhan. Berunding atau melanjutkan perang. Baik bagi Israel maupun Hamas (baca: Palestina), juga para bos “proxy” mereka.

Tesis (tesa), antitesis (antitesa), dan sintesis (sintesa) tidak akan pernah berhenti berproses. Seperti putik yang bersintesa oleh sinar Matahari. Baik untuk perdamaian, maupun melanjutkan perang.

*Sabpri Piliang* – (Wartawan Senior/Anggota Dewan Redaksi www.beritabuana.co