Model Kosovo Bisa Jadi Pilihan?

by
Perang Israel dan Hamas. (Foto: Ist)

PENOLAKAN Yugoslavia dan Serbia untuk menandatangani perjanjian damai “Ramboillet” membuat Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), tidak sabar. Pembersihan etnis (etnic cleanshing) yang telah menewaskan etnik Albania, di Kosovo (bagian dari Republik Serbia. Baca: Yugoslavia), telah menewaskan 10.000 lebih Warga sipil, 85 persennya adalah etnik Albania.

Ketidaksabaran NATO, bukan hanya itu. Sebanyak 850.000, warga Kosovo yang mayoritas Muslim, pun terusir dari Kosovo. Pengungsian ini menyebabkan terjadi krisis kawasan. Inilah alasan utama untuk NATO melakukan pengeboman terhadap Ibukota Yugoslavia, Beograd (24 Maret 1999-10 Juni 1999). Sekalipun, tindakan NATO ditolak “Security Council” (Dewan Keamanan PBB), karena China dan Rusia menentang. NATO tak peduli. Hak veto dua dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB ini “ditabrak”. PBB kehilangan legitimasi.

Tindakan NATO untuk menstabilkan kawasan Eropa dari arus pengungsian besar-besaran Kosovo, adalah hal kedua yang terkait Perang Balkan. Operasi tempur pertama dilakukan NATO (1995), terhadap Beograd (Ibukota Yugoslavia), setelah Yugoslavia (baca: Serbia) menolak menghentikan perang di Bosnia Herzegovina.
Pembantaian terhadap 8.000 orang sipil Muslim Bosnia di Kota Srebrenica (Bosnia) oleh pasukan Serbia Bosnia pimpinan Radovan Karadzic-Ratco Mladic, memicu kemarahan NATO.

Betapa tidak. Setelah kota Srebrenica yang sesungguhnya masuk ‘zona’ aman bagi Pengungsi Muslim Bosnia. Di tambah lagi, berada dalam penjagaan ketat kontingan Pasukan PBB, pasukan Serbia Bosnia (etnik Serbia di Bosnia) menerobos blokade pasukan PBB. Semua laki-laki Bosnia dijejerkan, lalu “dihabisi”. Mereka kemudian dikuburkan secara massal.

Itu sekadar ilustrasi. Dari 1995, kita kembali ke tahun 1991, kembali ke konflik Kosovo. Penolakan Yugoslavia atas perjanjian “Ramboillet”, memicu tindakan NATO secara sepihak. Tanpa persetujuan “Security Council” (Dewan Keamanan) PBB, NATO menyerang kembali Yugoslavia. Tindakan ini, memaksa Yugoslavia (saat itu dari 5, hanya tinggal dua anggota federasi: Serbia & Montenegro) menarik pasukannya dari seluruh Kosovo. Termasuk di Ibukota Pristina.

Kewibawaan NATO, akhirnya menghentikan perang. Lewat perjanjian “Kumanovo”, PBB membentuk “Misi Administrasi Sementara PBB di Kosovo”. Isi perjanjian diantaranya: penarikan Pasukan Yugoslavia dari Kosovo, pengembalian Pengungsi Albania ke Kosovo, pemisahan “de facto” Kosovo dari Yugoslavia di bawah Pemerintahan Sementara PBB, dan pendirian UNMIK.

Sekalipun legitimasi (regulasi) perangkat PBB tidak terpenuhi karena ada dua anggota tetap DK PBB yang menolak, namun tindakan itu “positif”. Untuk menghentikan pembantaian “Warga Sipil” di Semenanjung Balkan.

Lantas, saya mau cerita apa? Kok berputar sampai Kosovo dan Bosnia? Krisis “up to date” yang juga ber “asosiasi” pembantaian, kini tengah berlangsung di “Jalur Gaza”. Lebih dari 38.000 warga sipil Palestina dan 1.400-an Warga Israel, telah terbunuh.

Bermula dari serangan Hamas. Lewat sayap militernya, Izzeddin Al Qassam masuk jauh ke dalam wilayah pendudukan Israel (7 Oktober 2023). Operasi bersandi “Banjir Al Aqsa” ini, mengundang kemarahan Tel Aviv. PM Israel Benjamin Netanyahu, lewat Kabinet perangnya membom dan meratakan Gaza. Serangan lewat udara dan darat ini dilakukan tanpa pilih sasaran.

Akibatnya Korban sipil, hingga sembilan bulan pertempuran mencapai lebih dari 38.000. Korbannya, sebagian besar adalah warga sipil anak-anak dan wanita. Israel berdalih, Pasukan Israel Deffence Force (IDF) tidak menyerang sipil, tapi menyasar ke pejuang Hamas yang bersembunyi di rumah sakit dan pemukiman. Namun, di era digital saat ini, apa yang terjadi sesungguhnya. Telah terdikumentasi secara terang benderang.

Dunia tampak sudah gemas dan gregetan melihat digital di “internet, youtube”, dan media sosial lainnya. Tak ada lagi yang tertutupi. Rakyat sipil Palestina sangat menderita.

Kapan penderitaan itu akan berakhir? Kapan rakyat Israel tidak lagi dapat gempuran dari milisi pembela Palestina: Houthi (Yaman), dan Hezbollah (Lebanon, di Utara)? Secara “cover both side”/berimbang, tentu kedua rakyat, terutama Palestina sangat menderita.

Sekjen PBB Antonio Gutteres, pasti mengerutkan dahi. Saya memahami, PBB dalam kondisi bingung saat ini. Sejumlah resolusi “Security Council” (Dewan Keamanan) terkait konflik (Oktober 2023-sekarang), antara Hamas-Israel telah di “declared”.

Menimbulkan “question mark” (pertanyaan besar), alasan PBB tidak memberikan sanksi kepada Israel atas bencana kemanusiaan ini? Menyitir fungsi PBB, lewat “Security Council” adalah, “bertugas untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan Internasional”, seperti yang telah dilakukan di Kosovo dan Bosnia di Semenanjung Balkan
Sejak tahun 1967, sesungguhnya PBB, melalui Resolusi 242 (1967), dan Resolusi 338 (1973) telah mengeluarkan formula ‘cantik’ untuk perdamaian Israel-Palestina.

Formula yang diberi nama “Land For Peace”, semestinya sangat ideal untuk mengakhiri konflik 75 tahun (sejak 1948) dari kedua bangsa. Isi Resolusi DK PBB, agar kedua bangsa berdamai dengan solusi dua negara di di “tanah yang berbagi”, dalam perbatasan (border) yang aman dan diakui.

Konflik tak seimbang Israel-Hamas, per hari ini, tidak memiliki kepastian. Kapan akan berakhir. PBB sebagai lembaga “mufakat” dunia, makin kehilangan legitimasi.

Eksistensi PBB perlu di-revitalisasi agar bisa memaknai tujuan awal pendiriannya (24 Oktober 1945 di San Francisco). Salah satu tujuan PBB adalah, kerjasama antar-negara dunia, untuk “menghormati hak asasi manusia.

Model Kosovo dan Bosnia, bila terpaksa, bisa menjadi pilihan PBB, atau NATO. Ini demi menghargai harkat dan martabat, serta alasan kemanusiaan. Namun, semua berpulang pada persetujuan AS. Tapi, saya tak yakin itu terjadi.

*Sabpri Piliang* – (Wartawan Senior/Anggota Dewan Redaksi www.beritabuana.co