Sejarah Kelam Khilafah dan Berdirinya NKRI dalam Perspektif Sejarah

by
Garuda dan khilafah. (Foto: Ilustrasi)

Oleh: Agus Widjajanto
(Penulis adalah praktisi hukum, pemerhati sosial politik, budaya dan sejarah bangsanya)

BANYAK kalangan di Tanah Air, terutama oleh saudara-saudara kita yang berpandangan bahwa khilafah sistem pemerintahan merupakan sistem yang akan memberikan keadilan dan kemakmuran bersama. Tidak terkecuali jika diterapkan di Indonesia, mereka berkeyakinan akan memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Khilafah sendiri adalah sebuah gerakan keagamaan yang dipahami sebagai konsep tentang kenegaraan yang berdasarkan syariat Islam dan pemimpinnya disebut Khalifah. Namun harus diingat, bahwa Negara Indonesia memiliki keragaman latar belakang agama.

Satu hal yang penting pula bahwa telah disepakati bersama bahwa konstitusi kita adalah UUD 1945 dan Pancasila oleh pendiri bangsa. Mendirikan negara khilafah menjadi sesuatu yang tidak realistis dan tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Karena apa? Bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945 dan Pancasila.

Dalam bahasa sederhana saya, bisa disimpulkan bahwa penolakan terhadap paham khilafah merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya menjaga dan merawat seluruh warga negara agar taat konstitusi.

Mengingatkan kembali bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil perjanjian luhur kebangsaan di antara anak bangsa pendiri negara ini. NKRI dibentuk guna mewadahi segenap elemen bangsa yang sangat majemuk dalam hal suku, bahasa, budaya dan agama.

Sebab itu sudah menjadi kewajiban semua elemen bangsa untuk mempertahankan dan memperkuat keutuhan NKRI. Setiap jalan dan upaya munculnya gerakan-gerakan yang mengancam keutuhan NKRI wajib ditangkal. Sebab akan menimbulkan kerusakan yang besar dan perpecahan umat.

Dalam ‘Surat-Surat Islam dari Ende’ yang terbit pada tahun 1936, Presiden RI Ir. Soekarno pernah menuliskan sebagai berikut;

“Islam harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun. Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman.”

“Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?”

Apa maksud Soekarno menulis begitu? Sangat jelas! Bung Karno menolak khilafah adalah karena sebagai Muslim, ia tak mau umat Islam menjadi mundur dan terbelakang. Baginya, khilafah sebagai lembaga politik sudah tidak relevan lagi di zaman modern yang dicirikan dengan sistem demokrasi dan nasionalisme.

Dalam tulisan itu, Soekarno mengkritik pendukung khilafah yang justru tenggelam di masa silam yang mereka anggap sebagai masa kebesaran. Padahal hakekatnya terperosok dalam ketertinggalan. Dan itu bertentangan dengan spirit Islam yang diyakini Bung Karno sebagai spirit kemajuan.

Kira menengok ke belakang dari sejarah bangsa saat persiapan kemerdekaan Indonesia, baik saat sidang pandangan umum pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia 9 yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Saat itu, atas usulan dari kaum golongan Islam dalam Piagam Jakarta mengusulkan kata “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya. Kemudian tokoh dari Indonesia Timur yakni Johanes Latuharhary keberatan atas klausul tersebut dan meminta dihapus.

Johanes Latuharhary mewakili golongan Kristen Protestan dan Katolik saat persiapan kemerdekaan Indonesia. Ada desas-desus saat itu, Indonesia Timur akan mengajukan kemerdekaan jika Piagam Jakarta disahkan. Moh. Hatta selanjutnya meminta rapat darurat dari panitia 9 saat itu dengan mengundang KH. Wachid Hasyim , Ki Bagus Kusno, Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hasan.

Dari keputusan Panitia 9 tersebut, dengan pertimbangan keutuhan NKRI yang memang negara ini dibentuk atas dasar segala perbedaan baik suku, agama, adat istiadat, bahasa, menyepakati bersama. Yakni sepakat untuk mencoret kalimat “Menjalankan. Syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sesuai sila pertama dari Pancasila hingga saat ini dikenal.

Belajar dari sejarah singkat di atas, maka tidak masuk akal jika ada saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita masih ingin bercita cita membentuk negara khilafah di tanah dan bumi Nusantara ini.

Sementara di Jazirah Arab sendiri sudah tidak ada lagi kekhalifahan. Dan dari sejarah masa lalu seperti yang tertulis diatas, menjadi pembelajaran sejarah untuk bisa menjadi pertimbangan pengambilan keputusan, bahwa tidak pada tempatnya menggunakan agama untuk kepentingan politik praktis untuk jalan mencapai kekuasaan.

Dalam sejarah Khalifah sendiri pernah terjadi sejarah kelam, dimana dalam sejarah dikenal dengan peristiwa Karbala yang diperingati oleh umat Islam baik Sunni maupun Syi’ah dengan nama hari Asyura yakni terbunuh nya Sayidina Husain cucu dari Rosullullah, yang dibunuh di kota Karbala karena konflik politik, yang oleh orang Jawa karena perbedaan bahasa dan lidah menyebut bulan Suro yang tepat diperingati tanggal 10 Muharom, sebagai bulan suci karena peringatan sejarah kelam dari peristiwa politik tersebut dalam perbuatan kekuasaan dalam khilafah sebagai Khalifah saat itu oleh Bani Muawiyah yaitu Yazid bin Muawiyah, yang oleh pemikir intelektual muda NU dan sekaligus Direktur Eksekutif Jaringan Moderat (JMI) Gus Islah Bahrawi, menyebut dalam ceramahnya, sebelum. Peristiwa Karbala telah terjadi pembantaian di kota Madinah sebelah Timur terhadap kaum Huroh, oleh Khalifah Yazid Muawiyah, yang mengakibatkan ratusan sahabat nabi terbunuh saat itu. Ini adalah sejarah kelam Kalifah di jazirah Arab sendiri, dimana Khalifah terakhir di dunia ini setelah runtuh nya sistem Khilafah Usmaniyah Turki pada tahun 1926 dengan Khalifah nya Sultan Mehmet VI Vahideddin (Turki Ottoman) lalu bagaimana kita mau kembali kepada masa lalu yg dianggap lebih baik untuk masa kini ?

Negara kita dibentuk dan didirikan oleh para Pendiri bangsa (Founding Father) sebagai hasil perenungan, pemikiran dan kerja keras yang mengakomodir dan mengadopsi dari nilai nilai budaya leluhur bangsa kita, dalam membentuk suatu sistem pemerintahan yang berdaulat, yang diilhami oleh kitab Kakawin Negara Kertanegara Gama, sistem pemerintahan Desa Adat dari Versi Mr. Soepomo, dan Pancasila dari pemikiran Soekarno, maka oleh sebab itu mengapa negara kita berslogan Bhineka Tunggal Ika? Yang artinya walaupun berbeda beda baik agama, suku, budaya, bahasa tapi tetap satu dalam ke Indonesiaan, dan Tan Hana Dharma Mangrwa yang makna artinya tiada Pengabdian yang abadi kecuali kepada Tuhan Yang Esa, sebagai Diversitas (keragaman) dimana tiada Kebenaran yang mendua, kebenaran Ke Esaan Tuhan yang satu, Walau berbeda dalam penyebutan oleh saudara kita yang Moeslim menyebut Allah, Yang Kristani menyebut Tuhan Yesus, yang Hindu Menyebut Sang Hyang Widi Wasa, yang Budha menyebut Sidarta Gauthama, yang aliran kepercayaan menyebut Gusti Kang moho Agung, yang semuanya berlaku sebagai Rohmattan Lil Alamin.

Semoga bisa menjadi pencerah bagi segenap anak bangsa. ***