(Mengembalikan) Kedudukan dan Wewenang MPR RI Seperti Sebelum Reformasi

by
Lautan mahasiswa bersama berbagai elemen masyarakat sedang menduduki Gedung Parlemen saat Reformasi 1998. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Widjajanto
(Praktisi hukum, Pemerhati Sosial Politik, Hukum dan Budaya)

MEMBACA berita kompas.com, tertanggal 5 Juni 2024, yang memuat berita bertemunya mantan Ketua MPR RI semasa pecahnya Reformasi, yakni Amin Rais di Gedung MPR RI Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, bersama para Pimpinan MPR RI, Bambang Susetyo, Fadel Muhammad dan pimpinan lain, dimana Amin Rais menyatakan sudah saat nya kedudukan MPR RI kembali seperti semula, sebelum Reformasi, supaya MPR RI kembali menjadi Lembaga Negara Tertinggi.

Amien bahkan sempat menyampaikan permohonan maaf, dimana saat mengambil keputusan dulu, dipenuhi dengan penilaian naif yang membayangkan dengan kedaulatan ditangan rakyat, maka segalanya lebih indah, tapi ternyata sebaliknya.

Menanggapi hal itu, perlu disampaikan dan digaris bawahi saya ingat betul hasil diskusi dengan Guru saya dalam diskusi bertiga dirumah beliau yakni Prof.Dr. I Gde Pantja Astawa SH.MH., Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, yang membenarkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum diubah dan di amandemen) berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Kedaulatan adalah ditangan rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, atau rakyat yang berdaulat, yang ‘supreme’. Ketika kekuasaan tertinggi yang ada pada rakyat itu di-representasikan oleh atau di-institusionalisasikan ke lembaga negara yang namanya MPR RI, tidaklah berarti bahwa MPR RI menjadi Lembaga Negara Tertinggi.

Mengapa? Ajaran Konstitusi (Constitutionalism) berujung pada pembatasan kekuasaan pemerintahan (limited government) dalam arti kata luas. Dalam hal ini Konstitusi lah yang membatasi kekuasaan seluruh organ atau lembaga negara yang ada tanpa memposisikan secara dikhotomi: Tertinggi dan Tinggi. Semua lembaga dalam posisi equal, hanya wewenang yang secara atributif diberikan oleh konstitusi yang berbeda. Sesuai dalam Trias Politica dari Montesquie, dimana teory kedaulatan dari John Locke, dan juga Jacque Rosseau, dimanifestasikan ala budaya dan demokrasi asli Indonesia oleh para Pendiri Bangsa (The Founding Father) kita, dimana pengertian kedaulatan tetap ada ditangan rakyat, akan tetapi pelaksanaan nya melalui sebuah lembaga perwakilan dalam pengambilan segala keputusan, baik mengangkat presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan wakil presiden, membuat dan menyusun GBHN, yang tidak mungkin 270 juta rakyat membuat sebuah peraturan Ketatanegaraan dan mengangkat, serta juga memberhentikan presiden serentak berbondong bondong berkumpul, dalam satu tempat.

Jadi pengertian sebagai Lembaga Negara Tertinggi, jangan dimaknai dan disalahtafsirkan seperti saat lahir nya reformasi, dimana kekuasaan tertinggi ada di sebuah lembaga yang bisa dimanipulasi dengan kekuatan politik, baik politik uang maupun politik kepentingan golongan dan kekuasaan, akan tetapi pada hakekatnya tetap ada ditangan rakyat. Untuk bisa memahani hal itu, maka harus mempelajari sejarah terbentuknya negara ini, baik pada saat sebelum persiapan kemerdekaan pada era tahun 1908 hingga 1928, hingga terbentuknya BPUPKI dan PPKI, hingga berlakunya secara Kontitusional Pancasila, dan UUD 1945 sebagai kontitusi tertulis pada tanggal 18 Agustus 1945, hingga pada tahun 1959 saat terjadinya Dekrit Presiden pada tanggal 5 juli 1959.

Dan bagaimana pendapat Moh. Yamin, Mr Soepomo, maupun Soekarno, jikalau mempelajari dan memahami kontek sejarah serta latar belakang emosional yang melingkupi saat itu, maka yang bisa saya katakan sepertinya mustahil UUD 1945 yang begitu elegent dan karya luar biasa dari para Kamopiun dibidangnya dari Bapak-Bapak Pendiri Bangsa kita, lalu secara gegabah dan jumawa sekali untuk melakukan amandement hingga ke 4 kalinya. Ini pembelajaran sangat berharga bagi kita semua, kesalahan pada pundak diri kita semua.

Jikalau dilakukan amandemen ke V (lima) maka, alangkah bijak apabila hanya dilakukan perubahan terbatas menyangkut beberapa pasal, baik mengurangi maupun menambah alenia, yang berhubungan dengan Soko Guru berdirinya negara ini yang tidak mungkin diubah, yang merupakan Dwi Tunggal antara kontitusi tertulis (UUD 1945) sebagai hukum dasar, dengan dasar negara Pancasila khususnya sila ke empat dari Pancasila, termasuk menyangkut kedudukan MPR RI tadi sebagai Lembaga Tertinggi yang merupakan representasi dari perwakilan kedaulatan rakyat. Sedangkan kedudukan lembaga-lembaga yang terlanjur sudah ada, termasuk Mahkamah Kontitusi, setelah berdiri di era Reformasi agar tidak terjadi kegoncangan yang bersifat dilematis dalam ketatanegaraan tetap harus dipertahankan.

Sedangkan menanggapi Mas Bambang Susetyo selaku ketua MPR RI saat ini, dalam konteks perubahan Konstitusi atau UUD, mudah atau sulitnya konstitusi itu diubah bukanlah terletak pada perubahan secara formal (formal amandement) -termasuk prosedur perubahannya, akan tetapi lebih terletak pada: “Apakah kekuatan sosial politik (dalam hal ini Partai-Partai Politik) yang ada merasa berpuas diri ataukah tidak terhadap konstitusinya”. Contoh, pada masa pemerintahan Orde Baru, semua kekuatan sosial politik yang ada (2 Parpol dan 1 Golkar yang tidak mau disebut sebagai partai politik) dan menyeret institusi TNI dengan Dwi Fungsi-nya, apakah masih ‘berpuas diri’, karena pada ujungnya terjadi tarik menarik di pemerintahan dan di Parlemen menyangkut amandemen ke lima ini, yang mengembalikan kedudukan dan fungsi MPR RI, karena dulu pada tahun 1998 semua kekuatan sosial politik secara serentak ‘menyanyikan’ lagu Constitutional Reform, maka jadilah UUD 1945 genial the founding fathers kita. Dan, apakah Ketua MPR RI sekarang Mas Bambang Susetyo bisa mengatur antara partai-partai besar yang memiliki kursi signifikan di Parlemen dari hasil Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2024 kemarin? Kalau seluruh kekuatan politik dalam hal ini ketua-ketua partai besar sepakat untuk kembali lagi mengubah UUD 1945, hal ini bukan lah pekerjaan sulit bagi elit partai, tergantung kemauan baik demi bangsa dan negara ini, bukan pertimbangan kepentingan. ***