Pergeseran Nilai Menyangkut Kehidupan Sosial, Politik, Hukum, Ekonomi dan Pendidikan di Negeri ini

by
Ilustrasi

Oleh: Agus Widjajanto*

KALAU ada yang berpendapat Indonesia saat ini, mengalami kemajuan disegala bidang, baik kehidupan sosial, politik, hukum, ekonomi dan pendidikan, adalah pandangan yang menghibur diri sendiri ditengah krisis moral dan etika, dari seluruh strata lapisan anak bangsa. Banyak kasus yang sekarang lagi viral dimedia dan media sosial (Medsos), yakni kasus kematian Vina Cirebon yang menurut beberapa pengamat menyatakan berpotensi terjadinya kasus Sengkon dan Karrta terulang kembali, terus ada pejabat Kejaksaan Agung yakni Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febri Diansyah yang dikuntit dua anggota Densus 88, saat tengah menangani kasus tambang terbesar dinegeri ini, yang tentu bagi masyarakat akan menilai telah terjadi konflik antar penegak hukum. Belum lagi kaum muda milenial sudah tidak lagi mengenal budaya lokal warisan leluhur-nya, dimana pola hidupnya sudah kebarat-baratan baik dari segi pakaian makanan, gaya hidup, budaya, dalam kontek keagamaan ada keturunan tertentu merendahkan para ahli agama atau ulama asli Nusantara, hingga digugat menyangkut keabsahan nazab-nya oleh kyai Imaduddin Ustman Al Bantani yang lagi viral, yang menunjukan sedang terjadi pergeseran nilai dan pola dalam masyarakat dalam kaitan berbangsa dan bernegara dimana sebenarnya Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja yang perlu terobosan untuk memperbaiki sistem yang dibangun sejak pasca runtuhnya Orde Baru (Orba) memasuki era Reformasi yang sudah kebablasan.

Fenomena tersebut tidak bisa dilepaskan karena terjadinya degradasi moral dari anak bangsa itu sendiri yang merupakan tugas kita semua. Mengajarkan moral dan etika serta cinta Tanah Air, sopan santun, rasa berbagi, toleransi antar umat beragama karena negeri ini terdiri dari ber suku-suku dan berbangsa-bangsa dengan ratusan, bahkan ribuan bahasa daerah, harus dimulai sejak usia dini, yang merupakan tugas kita semua seluruh elemen anak bangsa, baik orang tua, guru mulai tingkat pendidikan dasar, menengah dan hingga Dosen, Guru Besar pada Perguruan Tinggi. Sementara sistem pendidikan kita dalam proses belajar mengajar sudah dibuat sedemian rupa seperti hal-nya sistem pendidikan di Eropa, dimana pada usia dini sudah dijejali, matematika, logaritma, bahasa asing, yang merupakan pelajaran berat porsi pada pendidikan menengah atas dan pada level yang lebih tinggi, yang justru menghapus beberapa mata pelajaran budi pekerti, cinta Tanah Air, penghormatan terhadap guru, sopan santun, dan bahasa daerah, serta sejarah bangsa-nya. Agar tetap melekat pada usia dini tersebut merupakan dasar dari pada membentuk karakter anak dan manusia seutuhnya dikemudian hari.

Di Jepang yang merupakan negara maju dan negara industri, sistem pendidikan-nya mengajarkan pada usia dini pada kelas satu hingga kelas tiga Sekolah Dasar, hanya diajarkan ekstra kulikuler olah raga untuk membentuk tubuh yang sehat, serta pendidikan budi pekerti, sopan santun, sosialisasi sesama teman dan lingkungan serta menghormati guru, orang tua, dan cinta Tanah Air. Di Jepang dalam proses belajar tingkat dasar kelas satu hingga kelas empat tidak ada ujian seperti di negara kita, akan tetapi guru memantau karakter dan cara bersosialisasi dalam pergaulan, sopan santun-nya terhadap orang yang lebih tua, dan guru. Dengan sistem pendidikan tersebut apakah Jepang menjadi negara terbelakang ? Oh tidak, Jepang tetap sebagai negara industri maju, negara kampus industri mobil, digital, elektronik, dan sumber keuangan dunia.

Jaman saya kecil dulu, pada tahun 70 an dengan sistem pendidikan lama, diajarkan tata cara menulis huruf latin halus, menulis huruf honocoroko yang merupakan bagian sejarah dari bangsa ini, diajarkan sopan santun, unggah ungguh, hormat terhadap guru serta orang yang lebih tua dan orang tua. Saking keras-nya, seorang guru mengajarkan disiplin terhadap murid-nya agar menjadi manusia yang berahlak bertanggung jawab serta berbudi luhur, maka dijaman itu guru sangat dihormati. Coba jaman Reformasi sekarang ada guru menghukum muridnya disekolah, yang ada sang guru dilaporkan Polisi oleh orang tua murid karena semena-mena. Disinilah telah tejadi pergeseran nilai dalam menafsirkan sesuai nilaii nilai Pancasila, dan ajaran Bapak Taman Siswa, Tut Wuri Handayani, Ing Karso Sun Tulodo, tidak lagi terdengar diajarkan pada bangku bangku sekolah, bahkan lebih kepada berorientasi pada pendidikan yang menguntungkan secara finalcial (Education Bisnis), hingga jangan kaget begitu mahal biaya pendidikan saat ini yang harus ditanggung masyarakat, dengan pembelajaran sopan santun, tata krama, sosialisasi cara bergaul yang dilakukan sejak usia dini, tentu setidaknya akan melekat pola pikir di usia dini dari anak-anak kita, agar menjadi pribadi yang luhur, jujur, dan penuh toleransi terhadap sesama. Bahkan sekarang kabarnya ditingkat Perguruan Tinggi, rencananya akan menghilangkan mata kuliah Pancasila di semester pertama pada beberapa universitas, baik negeri maupun swasta. Hal ini berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Orde Baru yang mengajarkan nilai-nilai Pancasila lewat program Eka Prasetya Panca Karsa, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, pejabat, kaum pendidik agar bisa memberikan suri tauladan. Kepada masyarakat yang dipimpinnya dan diajarnya, apa itu makna dan nilai nilai dari Pancasila.

Di dunia dengan kemajuan tekhnologi komunikasi dan informasi yang seolah-olah tidak ada lagi batas negara, dengan kemajuan tersebut hampir semua anak bangsa menggunakan internet, listrik, bahkan masa pandemi Covid, dilakukan lock down dirumah, dimana rapat dan sistem belajar mengajar menggunakan Zoom di internet, belum lagi sistem perbankan, bahkan mobil juga bertenaga listrik, yang tentu itu semua bermuara pada sistem kontrol, yang bermuara pada Cip yang diciptakan berdasarkan tehnologi canggih yang tidak semua negara mampu menguasai dan membuat-nya. Jadi seolah olah kita digiring pada suatu kondisi tertentu secara bersamaan dan merata, apakah kita pernah membayangkan secara imajinasi saja, pada suatu ketiga terjadi shutdown (mematikan seluruh sistem dan komputerisasi), sedang sistem yang dibangun menggunakan tehnologi yang belum sepenuhnya kita kuasai, dan harus belajar dari kasus negara Estonia, dimana saat shutdown seluruh operasi perbankan dan operasional internet mati, yang berakibat seluruh jaringan mati, dimana Estonia saat itu mengalami kelumpuhan total. Dan ini harus kita pikirkan bersama, tehnologi seolah membuat kita bangga dan hebat, padahal sebetulnya membuat diri kita semakin bodoh karena dikuasai oleh sistem tehnologi tersebut dan kita tidak bisa berbuat banyak kecuali ikut arus sistem tersebut, contoh pakai pulsa, token listrik, tarik tunai uang dalam perbankan, tranfer, telpon, dan sebagainya.

Bahwa suatu sistem yang dirancang dan diciptakan salah, akan membuat orang baik akan terseret dalam turbulensi lingkungan menjadi orang jelek dalam kapasitas-nya sebagai warga negara. Tapi dengan sistem yang baik, orang yang jelek secara mens rea (niat jahat) akan terkikis dan ikut terseret menjadi baik karena sistem.

Kehidupan Politik

Demikian juga dalam kehidupan politik, setiap hari dipertontonkan dengan hujatan karena pilihan berbeda dalam politik, ditengah kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, belum lagi pada masa lalu terjadi politik identitas menyangkut keagamaan dalam pilkada, yang menggiring pada potensi perpecahan antar umat beragama, yang mana masyarakat digiring pada opini dikaitkan dengan keagamaan, bahkan surga dan neraka, hal ini akibat dari adanya kebebasan yang tidak dibarengi dengan rasa bertanggung jawab akibat dari pada dirubahnya sistem ketatanegaraan, dimana hukum dasar kita yakni UUD 1945 telah diamandemen hingga ke empat kali nya, yang merubah format dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung, menggunakan proporsional terbuka dalam sistem pemilihan dalam partai politik. Hal ini akan berimbas pada mata rantai bidang yang lain, karena cost yang ditimbulkan sangat besar tentu bermuara pada saat menjabat pun akan berorientasi pengembalian modal, dalam masa jabatannya. Karena sistem proporsional terbuka siapapun calon Legislatif, baik berusia muda maupun tua, belum lama masuk partai politik boleh mencalonkan diri, yang pada akhirnya terjadi politik transaksional, layaknya pada negara sistem liberal yang berorientasi ekonomi kapitalis, yang setiap calon baik calon kepala daerah, calon Legislatif, bupati, walikota bahkan presiden, ditengarai para ahli politik didukung oleh oligarki yang tentu tidak ada makan siang yang gratis , dan hal ini berakibat pada sistem dan kondisi perekrutan jabatan jabatan strategis, baik di pemerintahan, penegak hukum, perbankan, menjadi ajang transaksional, yang muaranya akan timbul ketidak pastian dalam segala bidang, termasuk dalam bidang penegakan hukum, baik di tingkat penyidikan, penuturan maupun ditingkat peradilan pada Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung, yang masih jauh dari rasa keadilan, yang kerap dijumpai adalah adanya peradilan yang sangat mahal yang harus ditebus oleh para pencari keadilan hal ini diakibatkan oleh, satu: adanya degradasi moral dari anak bangsa dan dua sistem yang dibangun sudah salah kaprah yang telah mengoyak dan memporak porandakan sistem yang ada. Yang telah dibangun oleh para pendahulu kita, para pemimpin pemimpin kita masa lalu.

Kita harus belajar pada sejarah, tepatnya sejarah berdirinya bangsa ini yang dibentuk oleh para pendiri bangsa (Founding Father kita ) bahwa negara ini dibentuk dari awal adalah sebagai negara kesatuan yang menyatukan segala perbedaan baik agama, suku, ras, budaya, adat istiadat bahasa, menjadi satu tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yang berdasarkan sistem perwakilan sesuai sila ke empat dari Pancasila, dan sistem ekonomi kerakyatan secara gotong royong, dengan dasar dan falsafah serta pandangan hidup bangsa yakni Pansila, bukan negara liberal yang berorientasi sistem kapitalis, juga bukan negara sosialis dengan. Sistem ekonominya sosialis, tapi sebuah negara dengan konsep ketatanegaraan ala Indonesia yang diilhami dari nilai nilai luhur para pendiri bangsa dan nenek moyang bangsa ini. Bukan pula negara agama, akan tetapi negara yang melindungi segenap umat beragama dalam menjalankan ibadahnya. Dan ini merupakan tanggung jawab kita bersama, seluruh elemen bangsa. Dan harus merefleksi diri kita bahwa kita telah gagal dalam menghantarkan para calon calon pemimpin pada proses kawah candra dimuka pada pendidikan, baik pada tingkat menengah atas hingga perguruan tinggi.

Maka tiada kata yang tepat, sebelum kita tersesat jauh dimana telah kehilangan jati diri dan ruh-nya ke Indonesiaan, kembalilah belajar dari sejarah masa lalu, dan jangan sekali kali melupakan sejarah bangsa ini pada masa lalu. Karena esok hari ditentukan oleh langkah kita hari ini. ***

* Penulis adalah
Praktisi hukum di jakarta, Pemerhati sosial budaya politik dan hukum serta sejarah bangsanya